Kursi Kayu


“Kursi ini buatan asli jepara. Asli pakai kayu kalimantan pak.” Ucap kakek tua yang rambutnya sudah hampir dipenuhi uban putih. Kata-katanya mantap seolah sudah hampir setiap  hari dia mengucapkan kata seperti itu. Memang itu yang dibutuhkan untuk menawarkan barang dagangannya agar dapat dilirik oleh seorang pembeli. Walaupun lapaknya hanya di pinggir jalan, tempat keluar mobil-mobil mewah dari ruas jalan tol Jakarta-semarang.
            Seseorang berkaca hitam tebal dengan kaca mengkilat itu terus memandangi dengan seksama kursi yang tampak baru selesai di poles plistur itu. Sedikit banyak mengedip dan menciutkan mata untuk melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Diipandanginya dari berbagai sisi. Diketuk-ketuknya kecil untuk mengetahui kepadatan kayu yang digunakan. Sepintas memang terlihat kuat dan kokoh, namun sebagai pengusaha yang berpengalaman dia tak boleh salah memilih produk yang tepat untuk klient yang sudah jadi langganannya.
            “Bapak membuat satu ini bisa selesai berapa hari?” dia tampak melepaskan kaca mata dengan tangan kanananya.
            “Kalau Cuma satu kami mampu bikin dalam satu hari jadi. Kalau bapak mau nanti sore bisa saya kirim ke tempat bapak.” Orang tua itu tampak percaya diri dengan apa yang tengah diucapkananya.
            “Hmm, saya bukan cari untuk sendiri. Kalau dalam waktu seminggu bapak bisa menghasilkan berapa kursi seperti ini. Paling banyak..?” Pria itu tampak menunjuk pelan dengan tangan kanannya ke arah kursi itu dengan santainya.

            “Tergantung orderan pak..”
            “Maksud saya, kalau semisal saya minta banyak dalam waktu seminggu, bapak paling banter bisa nyediakan berapa?”
            Mata orang tua beruban yang sedari tadi selalu terlihat santai mendadak membelanak dalam sekejap. Terkaget dengan pernyataan orang asing berambut ikal dengan ikatan di belakang kepala itu. Dalam pikiran orang tua yang sehari-hari berprofesi sebagai pengrajin ini, mungkin orang asing ini adalah pengusaha properti yang sedang mencari langganan, atau apapun yang jelas ini adalah kesempatan emas untuk mengembangkan usaha.
            “Bagaimana pak..?” Pria itu menegur pak tua yang sedari tadi tampak terpana dalam beberapa detik, seperti melayang dalam dunia yang tak dikenalnya.
            “Oh iya, bagaimana pak? Mau pesan untuk satu minggu?”
            “Seandainya saya pesan satu minggu bapak bisa menyanggupi berapa buah kursi?”
            “Hmm, kami di rumah beberapa pekerja, sampai lima puluh kursi dalam seminggu kami sanggup.” Pak tua tampak percaya diri dengan mata sedikit berbinar.
            “Kalau dua ratus kira-kira bisa nggak? Saya butuh dua ratus sekaligus untuk minggu depan. DP nanti saya langsung kasih lima puluh persen. Bagaimana?”
            “Wah, kalau 200 saya belum bisa jamin pak, soalnya saya Cuma dibantu sama anak dan adik saya. Tapi kalau 70 atau seratus akan saya usahakan.”
            “Jadi kalau dua ratus nggak bisa ya?”
            “Maaf pak, belum bisa..”
            “Oh, yasudah kalau begitu. Saya akan cari tempat lain saja. Terimakasih pak”
            Orang asing dengan pakaian perlente itu beranjak dari tempatnya berdiri dan kembali menuju mobilnya yang diparkir tidak jauh dari tempat penjual kursi itu. Penyesalan tampak terlihat dari wajah orang tua ini. Dia tidak pernah mendapat penawaran sebesar itu. Tapi entah kenapa justru ditolaknya karena dia merasa tidak sanggup mencukupi semua pesanan yang berlebihan itu dalam satu minggu.
            “Eh pak, tunggu.” Seorang anak muda keluar dengan cepat dari gubuk kecil tempat Pak tua itu bertedung sembari menunggu pelanggan datang. Anak muda ini adalah anak satu-satunya dari pak tua.
            “Kami bisa menyanggupi pesanan bapak..”
            “Bagaimana?” Pria besar itu memalingkan wajah dan tubuhnya dengan cepat.
            “Kami bisa mencukupi pesanan bapak, dua ratus kursi dalam satu minggu. Nanti akan kami buat bersama dengan pengrajin kayu yang lain. Kebetulan kami banyak kenalan.”
            “Heh…” mendadak Pak Tua itu mendekati anaknya dan berbisik, seolah meragukan apa yang sedang diucapkan anaknya. Mungkin juga si Bapak ini meminta anaknya untuk menarik ucapannya barusan itu.d
            “Kata bapak kamu nggak bisa, bagaimana? Yang jelas kami butuh satu pihak yang bisa suplai kebutuhan kami dalam seminggu itu. Masalah DP dan uang pangkalnya bisa diatur.” Pria gemuk itu tampak mulai membuka penawaran.
            Sementara Pak Tua dan anaknya terus berunding menentukan harga yang akan dilemparkan ke pengusaha berkumis tebal itu. Mungkin semacam biaya tambahan atas permintaan jadi dalam waktu cepat.
            “Kami sanggup selama satu minggu pak, tapi harganya ditambah 15% karena kami juga harus merekrut pegawai lebih banyak agar bisa tepat waktu.” Tidak tampak kesanksian sedikitpun di wajah pemuda pengrajin itu.
            “Baiklah, pembayaran akan saya transfer sekarang juga. Nanti orang-orang saya yang akan mengontrol perkembangannya setiap tiga hari sekali. Bagaimana?”
            “Baiklah, dengan senang hati. Terimakasih pak”
            Pengusaha berperut besar itu tampak berjalan cepat menuju mobilnya dan  mengambilkan secarik kertas berupa cek pembayaran dan selanjutnya diberikan kepada pemuda pengrajin kayu itu. Pak tua hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum melihat anaknya yang tampak sudah siap untuk melanjutkan usahanya yang sudah digeluti selama bertahun-tahun itu.
            Sementara mobil perlente meninggalkan kios kecil berisi kerajinan dari kayu itu, Pak tua ini merangkul anaknya dengan cepat. Dan senyum lebar masih terus menghiasi mukanya.
            “Sekarang bapak percaya kan?”
            “Yaya.. Kamu sekarang sudah besar dan harus bisa  berani bertanggung jawab atas keputusan yang kamu ambil.”
            “Saya akan terus butuh dukungan bapak. Masalah ini serahkan saja semuanya padaku.”    
            Mereka berdua berjalan lambat menuju kembali ke dalam kios dan segera mencari orang untuk dijadikan pegawai baru di kios  mungilnya. Mereka sadar kini bahwa seorang pengusaha harus keluar dari zona aman agar bisa menjadi lebih baik dan menjadi pengusaha yang sukses besar. Ujian yang mereka lewati hanya sebagian kecil dari pembelajaran untuk menjadi lebih baik.
           

Semarang, 11 Maret 2013
Badiuzzaman

Badiuzzaman
Badiuzzaman

Previous
Next Post »

Post Comment