Langit mulai menampakkan gelapnya. Angin
mulai menghembuskan hawa dingin yang membekukan semua yang ada di sekitarnya.
Awan tampak bergerak malas menghindar dinginnya udara agar tak segera berubah
menjadi titik-titik embun. Pohon-pohon mulai kehilangan bayangan mereka tanpa
bisa berkutik sedikitpun. Terdiam dengan rasa gelap yang terus menutupi asa
untuk terus eksis di dunia nyata.
“Gedang
Sanga..!! I am Coming..!!!” Salah seorang temanku sontak memecahkan keheningan
senja yang telah merajut sedari tadi. Digta namanya, orang Jakarta yang mungkin
baru pertama kali ini melihat candi. Maklum di jakarta mana ada Candi. Palingan
juga tumpukan sampah yang ada di sana, pikirku pelan.
Keempat
sekawan ini, termasuk aku mulai saling berpandangan sarat makna. Mengernyitkan
alis mendengar ucapan yang tampak aneh.
“Heh…”
aku jawel sedikit tangannya.
“Gedong
Songooo…..!! Sotoy..!!” ucapku sambil menyodorkan mukaku di hadapannya.
“Lho
itu tulisannya pake A, liat aja noh…” sambil menunjuk arah papan tepat di atas
pintu masuk kawasan wisata ini. Nampak dalam mukanya rasa resah tercampur
bingung telah melanda dirinya.
“Begini
ta…” ku pegang pundak kiri orang yang berkaca mata tebal itu perlahan. “Kalo
dalam bahasa jawa, huruf A itu dibaca O..” aku tersenyum pendek.
Syela
yang sama-sama orang Jakarta tiba-tiba nyrocos.”Berarti nama kamu diganti jadi
Digto..!! Hahaha.. “ tampaknya Syela tertawa puas.
“Haaaaaaa…
dasar Syelo..!!”
“Eh,
udah udah. Udah mau sampai tuh.” Radit yang sedari tadi bengong tiba-tiba
mengeluarkan suaranya. Bak seorang wasit yang angkat bicara atas kisruh yang
sedang menimpa pemain-pemainnya.
Semua
mata nampak nyalang melihat ke ujung candi yang letaknya terlalu jauh dari
dataran penglihatan mata. Hingga harus mendongak terlalu tinggi dan menengadah
terlalu lama.
“Kayak
naek gunung ya..” Digta mulai lagi.
“Naek
gunung gundulmu..!! ini bukit. Jauh.. jauh baget dari yang namanya gunung.” aku
memandang wajahnya.
“Tapi
kan sama-sama menggunung dan membukit kan?..,” Digta tersenyum kecil.
“Beda
lah, kalo menggunung itu bertumpuk tumpuk satu sama lain tepat di atasnya,
sedang kan kalo membukit itu belum tentu diatasnya, bisa di samping atau tepat
di pinggirnya.” Jelasku dengan nada sok tau, entah benar atau tidak yang
penting aku punya alasan untuk pernyataanku sebelumnya.
Tak
ada balasan, tak ada jawaban. Orang-orang di sekitarku hanya nampak diam seolah
baru pertama kali mendengar statement yang barusan aku lontarkan. Atau mungkin
mereka baru pertama kali mendengar itu. Ya memang, aku juga baru pertama kali
memikirkan itu.
“Sumber
dari mana tuh..?” Digta memandangku lekat sembari memonyongkan sedikit mukanya
ke arahku.
“Ini…!!!”
Aku mengetuk keras kepalaku dengan ujung telunjuk tangan kanan. Sambil memasang
muka sotoy yang paling garang sedunia. Tapi semua mulai mengacuhkan tingkahku.
Biarlah, yang penting aku puas.
Orang-orang
nampak iri melihat kebersamaan kami. Perempuan-perempuan yang berkoloni tampak
iri melihat cowok-cowok ganteng sedang bercanda ria. Preman-preman pasar terlihat
ngiler dengan cewek-cewek bahenol di rombongan kami. Kepulan asap rokok tampak
mereka undah-undahkan agar terlihat maco (mungkin). Tapi kami beranggapan rokok
itu bukan style tapi justru bunuh diri perlahan.
Tepat
saat memasuki gapura masuk kawasan wisata kami disambut dengan ramainya
orang-orang yang sedang beristirahat dan menunggu pengelola memberikan tempat.
Untungnya kami sudah bisa masuk karena sudah booking tempat dari jauh hari. Dengan lenggangan santai kami
berjalan masuk ke wahana yang menawarkan pesona alam ini.
Kali
ini aku ada di urutan paling belakang. Disuguhi pemandangan separo-separo
gunung-gunung kembar di depannya. Jangan pikir jorok ya. Lenggak-lenggoknya
menawarkan kenikmatan tersendiri yang membuat semua mata lelaki meleleh.
Tepat
di samping kanan ada segerombol, mungkin preman atau anak brandalan kemaren
sore. Tampak menggoda-nggoda kecil cewek-cewek di tengah kami.
“Cicuiiiiii..tt”
siulan menggelegar di telinga kami.
“Sst..
diem aja, gak usah bikin onar di sini.” Syela memegang tangan Digta dan
melihatku. Seolah memang kami berdua yang biasanya selalu omosional. Memang
benar sih.
“Eh..
mba… Itu.. hapenya jatuh…!” suara keras dari preman-preman itu tampak membuat
kupingku panas. Memaksa adrenalin terpacu semakin hebat. Membuat bulu kuduk tak
lagi kenal landasannya. Preman yang berjumlah belasan itu tertawa puas dengan
banyolan yang menurutku tak lucu itu.
Setelah
puas ketawa mereka nampak diam.
“Eh
mas.. awas rokoknya terbakar tuh..!!” aku teriak dengan nada tinggi pula
sembari menunjuk ke arah rokok yang sedang mereka bakar. Semua orang tertawa
puas. Aku dan rombonganku. Dan rombongan depan belakang menertawakan ucapanku
tadi.
“Haha..ha..”
Digta masih terlalu larut dengan ketawannya. Preman-preman itu beranjak dari
tempat duduknya. Kami mengambil langkah seribu sambil senda tawa tanpa henti.
Digta yang tertawa sambil merem itu tek tarik paksa untuk berlari. Dan
berlarilah kami tanpa kejaran yang berarti.
Semarang, 7 April 2013
Badiuzzaman
Post Comment
EmoticonEmoticon