Pensil Warna


“Bunda.. lagi sibuk nggak..?” seorang anak perempuan berambut panjang terurai memanggil-manggil ibundanya. Gadis kecil itu duduk disekeliling kertas gambar yang bermacam-macam bentuknya. Mulai dari kertas yang masih kosong, sama sekali belum ada noda, hingga kertas yang hanya diremas kesal karena tidak menghasilkan gambar yang bagus.
            Sudah hampir seharian ini dia menggambar semua hewan dan tanaman yang ada dalam pikirannya. Bukan untuk tugas sekolah ataupun permintaan bundanya, tapi karena memang atas kemauannya sendiri untuk menuangkan semua pikiranya dalam kertas gambar. Hampir setiap minggu dia dan bundanya harus pergi ke supermarket untuk mencari kertas gambar yang sesuai dengan keinginan anak ini. Bahkan tak jarang harus membeli pensil warna yang baru walaupun pensil yang lama masih bisa digunakan.
            Lina namanya, orang-orang menyukainya karena sikapnya yang ramah dan senang tertawa. Walaupun umurnya belum genap sepuluh tahun tapi dia terlihat begitu mandiri untuk anak seusianya. Mungkin karena didikan dari orang tuanya.

            Lina punya cita-cita sebagai pelukis. Mungkin karena almarhum ayahnya dulu adalah seorang pelukis dan lukisannya menjadi pajangan di toko-toko besar. Lina sangat ingin menjadi seperti ayahnya. Memang Lina tak memiliki bakat sebesar ayahnya, tapi dia terus yakin dan berusaha untuk menjadi pelukis. Apapun yang bisa dia bayangkan akan digambarnya dengan sebaik mungkin.
            “Bunda… di kamar nggak?”
            “Iya bentar sayang, Bunda mau mandi dulu ya..!!” Suara bundanya terdengar sengau karena berada di dalam kamar mandi.
            “Setelah mandi kita ke mall ya mah, pensil warna Lina habis ni.. padahal tinggal dikit lagi.” Lina berucap dengan nada memelas pada bundanya.
            “Iya, iya, tapi tunggu dulu ya..”
            Lina kembali ke kamarnya. Duduk diam di dekat meja di tengah kamarnya. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Sepertinya lamunan telah menjadi bagian dari dirinuya. Membayangkan semua bayangan yang tak pernah orang lain bayangkan. Memikirkan semua yang tak pernah orang lain pikirkan.
            Mungkin anak ini salah satu penganut paham bahwa bakat seseorang itu pada dasarnya tidak ada.  Bahwa bakat itu adalah tentang apa yang seseorang pelajari dan dia menyukainya. Mungkin lebih ngetrend sekarang dengan sebutan Passion. Keinginan untuk menjadi diri sendiri yang suka pada suatu hal dan ingin melakukan hal itu terus menerus sepanjang hidupnya.
            Passion lina adalah menggambar, walaupun gambarnya tidak bagus-bagus amat tapi dirinya selalu menggambar untuk memuaskan hasrat sendiri. Bahkan sampai terkadang lupa waktu dan tempat dimana dia sedang menggambar. Yang jelas menggambar sudah menjadi bagian dari hidupnya. Orang-orang yang sudah menemukan jalan hidupnya seperti inilah yang akan sukses di hari kemudian.
            “Ayo bunda.. lama banget..!!” Ucap Lina tidak sabar dengan kebiasaan bundanya yang berlama-lama kalau mandi sore sepulang kerja.
            “Iya, sabar, bentar lagi juga selesai. Emang nggak bisa dilanjutin besok saja ya nggambarnya. Udah adzan magrib. Besok kan hari minggu.”
            “Hmm, justru itu mah, karena besok hari minggu makanya Lina mau sejak pagi nerusin gambar ini. Setelah magrib kan masih buka mallnya..”
            “Yaudah nanti kita beli dua sekalian biar besok nggak habis lagi. Bukannya selasa kemaren baru saja beli pensil warna kan..?”
            “Iya bund, tapi udah habis…”
            Bunda Lina keluar dari kamar mandi dan mengeringkan rambutnya setelah berlama-lama keramas. Tak lama kemudian mereka langsung bergegas berangkat menuju lokasi tempat mereka biasa membeli pensil warna. Mobil avanza silver melesat memecahkan gelapnya malam kala itu. Menyeruak membelah sepinya jalanan malam menuju sebuah bangunan super besar yang masih lumayan dipadati orang-orang yang bermalam mingguan.
            Saat yang sama mereka melihat pameran di depan bangunan mall itu.Mobil diparkir tidak jauh dari sana.
            “Mah, boleh nggak kita mampir liat-liat pameran lukisan di depan mall itu.?”
            “Hmm, iya, tapi jangan lama-lama ya….”
            “Asik, asik… boleh beli lukisannya ya..?”
            “Eh, jangan macem-macem. Mahal loh lukisan di disana.” Ucap Bunda sembari menatap tajam muka Lina.
            “Ya liat dulu makanya.”        
            Mereka berdua menuju ke tempat pameran lukisan dadakan itu. Mungkin kurang cocok kalau dibilang pameran lukisan. Semacam penjajakan lukisan eceran mungkin tepatnya. Tidak banyak orang yang melihat-lihat di sana. Mungkin karena lukisannya yang kurang bagus atau karena selera seni mereka kurang. Maklum, kebanyakan anak muda yang berlalu-lalang di sana.
            Tampak aneh serang ibu dan anak peremuan kecil melihat-lihat lukisan. Biasanya yang tertarik lukisan dari kaum adam yang sudah berumur atau mereka-mereka yang mengerti tentang seni.
            “Suka lukisan juga bu…” mendadak suara mengagetkan ibu dan anak itu. Suara datang tepat dari belakang mereka. Masih terlihat muda, sosok pria berjenggot dan berkumis itu menggunakan topi kecil ala seniman. Mungkin memang dirinya seorang pelukis atau apapun itu.
            “Nggak terlalu juga. Anak saya sebenarnya yang suka nglukis..”
            “Wah bagus itu, sedari kecil memang kalau suka lukis biasanya berbakat.”
            “Tapi kata orang-orang lukisanku nggak terlalu bagus om.” Sambar Lina sembari melihat ke arah muka om yang belum dikenalnya itu.
            “Lukisan itu tak ada yang nggak bagus, mungkin belum matang. Melukis itu nggak sekali jadi langsung bagus, tapi harus ratusan bahkan ribuan kali mencoba dan berusaha untuk menjadi lukisan bagus. Makanya kamu harus berlatih terus ya sayang.. siapa namanya?” Ucap pria muda itu dengan mencoba berlutut di sampingnya. Berusaha mensejajarkan dirinya dengan anak ini.
            “Lina Kaenant Sukmawati.”
            “Nama yang bagus, dulu om juga punya teman namanya Pak Kaenant, tapi beliau sekarang sudah tiada.”
            “Pelukis juga?” Lina menegaskan.
            “Iya, dia itu dulu mentor om, yang ngajarin om dari nol hingga membuahkan banyak lukisan seperti ini. Namanya Kaenant Jayanto. Pernah denger?” Pria itu tampak antusias meceritakannya.
            “Lho, itu kan nama lengkap papah, iya kan bund..?”
            “Eh, kenapa?” Bunda tampak tersentak kaget dari ketermenungannya.
            “Nama lengkap papa kan Kaenant Jayanto? Ya kan?”
            “Iya, kenapa..?” Bunda tampak kaget dengan pertanyaan anaknya yang mendadak aneh.
            “Oh, berarti anda Riska sukmawati ya..?” Ucap pria itu ke bundanya Lina.
            “Lho ko anda kenal nama saya?”
            “Aduhh. Lama sekali tak jumpa, saya itu teman dekatnya almarhum suami anda. Dulu kan saya datang pas pesta pernikahan kalian. Lupa ya,,?”
            “Wah bagus dong om..!” Tiba-tiba Lina menyrocos tanpa cela.
            “Bagus apanya?” ucap pemuda itu dengan nada bingung.
            “Om kan bisa ajari aku nggambar, atau nglukis deh…!”
            “Oh itu beres lah..”
            “Jadi mau..? lom dateng tiap sabtu atau minggu ya ke rumah aku…”
            “Boleh boleh..”
            Setelah malam itu, Lina tak pernah lagi beli pensil warna. Dia mulai belajar melukis dan membeli banyak kanvas, kertas karton dan cat air. Setiap malam sebelum kedatangan pelukis muda itu, Lina tak pernah bisa tidur nyenyak.
            Beberapa bulan kemudian Ibunya menikah dengan om pelukis itu yang ternyata belum berisitri. Mereka menjadi keluarga yang bahagia. Walaupun Lina tidak pernah memiliki bakat untuk melukis, tapi karena perjuangannya untuk terus belajar melukis maka akhirnya dia bisa menjadi pelukis profesional. Bahkan satu lukisannya pernah dihargai $260.000 di lelang internasional.

Semarang, 12 Maret 2013
Badiuzzaman


Badiuzzaman
Badiuzzaman

Previous
Next Post »

Post Comment

2 komentar

ZAHRA AMANY
AUTHOR
March 22, 2013 at 5:51 PM Reply Delete Delete

melukis = mencurahkan isi pikiran

avatar
Badiuzzaman
AUTHOR
March 23, 2013 at 5:14 AM Reply Delete Delete

me-lu-kis = MEnumpahkan LUluhan hati yang terkiKIS.

iya deh yang suka menggambar..hoho

avatar