Wajah perlentenya menghiasi papan-papan
reklame yang berada di tengah keramaian kota. Wajahnya terlihat putih dengan
editan grafis yang tak pernah terelakan. Yang sebenarnya terdapat keusangan
dari dalam dirinya yang tak banyak diketahui orang. Berpura-pura alim agar bisa
dipercaya. Berpura-pura bijaksana agar orang
beranut kepadanya.
Peci
hitam sengaja dibelinya sebagai simbol perjuangan dan kesucian. Terpatri lekat
di kepalanya yang tak pernah berfikir untuk orang lain. Selalu menjadikan dirinya
sebagai orang terbaik di negeri ini yang pantas untuk dipuja. Dijadikan
penjamin hajat hidup orang banyak, walaupun untuk dirinya sendiri entah
terjamin atau tidak dengan siksa neraka, tidak ada yang tahu. Kepalanya
membesar sebesar uang yang ia keluarkan untuk menjadikan dirinya terkenal.
Dia
bukan artis yang banyak dimintai berfoto bareng bersama para fans-fans
fanatiknya. Dia juga bukan pahlawan yang berpura-pura menutup mukanya dengan
topeng, padahal semua orang sudah tahu siapa dia.
Menjadi
baik semenjak fotonya menjadi hiasan kota-kota besar. Menjadi bersabar untuk
sesaat saja memblusuk ke tengah-tengah pemukiman pasar dan rumah-rumah kumuh
yang baru pertama kalinya dia lewati. Berusaha memanusiakan manusia yang selama
ini dia anggap bukan sebagai manusia.
“Mbok.. mau milih siapa
nanti?” seorang pria muda setengah baya yang pertama kali akan berpartisipasi
dalam pesta demokrasi itu datang mendekati ibunya yang sedang duduk menonton
televisi di ruang tamu. Bertanya seolah orang awam yang baru pertama kali
muncul di dunia. Seolah seorang bayi yang langsung menjadi besar. Laksana
pejuang kemerdekaan yang tak mengerti bahwa negaranya telah merdeka.
“Ya, yang mau ngasih
duit aja li.. kalau nggak begitu kan
rugi.”
“Tapi kan mbok, kata
Pak Guru itu haram dan tidak boleh lho…”
“Haram kan kalau mereka
memberinya tidak ikhlas, kalau ditanya mereka memberinya ikhlas ko, lagian juga
satu suara ini. Masih ada 200 juta suara lagi yang bisa milih dengan baik.”
Ali bingung dengan
perkataan ibundanya, benar juga yang dikatakan oleh ibunya. Toh kalaupun haram
kan karena mereka tidak ikhlas, kalau ikhlas kan namanya khalal.
“Mbok, itu bukannya
yang disebut money politik?”
“Wah, kalao istilah itu
tanyakan saja sama bapakmu yang ngerti bahasa inggris. Mbok tah, nggak pernah
mikirin masalah itu. Yang penting kalau ada yang mau ngasih rejeki aja, mbok
nggak nolak.”
Tampaknya ali hendak
mencoba untuk menutarakan yang telah diceritakan oleh gurunya di sekolahan.
“Hmm,,,”
“Kenapa lagi nduk..?”
“Kalau kita milih
karena dia yang ngasih duit, apa mereka
dapet duitnya kembali ya?”
“Haha,,, kamu pengen
jadi seperti mereka?”
“Bukan begitu mbok,
kalau mereka pas nyalon ngeluarin banyak sekali duit, otomatis mereka akan
berusaha untuk balik modal kan mbok. Itu yang kata pak Guru bisa memicu
seseorang jadi korupsi.”
Mbok Ali memandang kuat
anaknya yang sedang belajar berujar. Belajar memikirkan kondisi yang ada di
lingkungannya. Belajar menganalisis semua yang akan menjadi akibat dari suatu
tindakan yang kurang tepat.
“Korupsi itu kan bukan
karena itu saja, tapi juga karena para pejabat itu nggak pernah ngaji pas waktu
muda. Makanya kamu kalo disuruh berangkat ngaji ke mesjid nggak usah banyak
alasan. Pake alesan banyak PR lah, atau apalah..”
“Hehe,, nggak usah
bahas yang itu deh mbok. Tapi Ali penasaran, apa mereka bakal minta jatah uang
mereka yang sudah dibagi ke orang-orang ya? Emang gajinya cukup emang, kalo
ndak korupsi?”
“Coba saja besok
tanyakan sama gurumu. Aku yo ndak ngerti.”
“Justru itu yang
kemaren dikasih tau sama pak guru. Katanya jangan mau trima kalau dikasih uang
sama mereka-mereka yang mau nyalon. Katanya pilih sesuai hati nurani.”
“Ceklek..” suara pintu
mendadak menyeruak tanpa ada protokol apapun yang mendahuluinya. Seseorang
bertubuh tinggi dan berkumis tebal tampak menyembul dari ruang tamu yang tak
jauh dari mereka berdua.
“Ada apa sih
ribut-ribut?, kedengeran dari depan. Bukannya bantu cuci mobil Bapak, eh malah
nonton TV terus.”
“Iya deh, nanti ya Pa,
lagi nemenin mbok nonton TV nih..”
“Udah selesai…” kata
lelaki berkulit putih kecoklatan itu dengan ketus.
“Ini lho Pa, anakmu.
Nanya-nanya nggak jelas soal pemilu. Masa mbok nggak boleh nerima duit dari
para calon yang mau maju itu. Kan sayang, rejeki nggak boleh ditolak.” Mbok Ali
terlihat manyun dengan suara pendek.
“Iya, bener kan Pa,
kita nggak boleh milih karena ada uangnya. Itu kan Money Politic, nggak
boleh kan pa? kita harus milih sesuai hati nurani kan?” Ali terus bertanya
bertubi-tubi dengan menatap muka ayahnya dengan serius.
“Jadi begini,” Pria
yang tampak bijaksana dengan kaca mata bulat khas bung hatta mendekati anaknya
di samping sofa dan mendaratkan tubuhnya tepat di samping tempat anaknya itu
duduk.
“Yang namanya money politic itu kalau orang-orang yang mencalonkan diri sebagai
pemimpin itu membagi-bagikan uang dengan harapan orang yang menerima mau
memilihnya pada waktu pemilu nanti. Bisa juga dibilang mereka membeli suara
kita. Nah kita nggak boleh terpengaruh sama yang gituan, karena itu merusak
masa depan bangsa.”
“Ko gitu Pa? merusak
bagaimana?”
“Mungkin kamu sudah
saatnya tau karena sudah bisa milih tahun ini. Kalau mereka mengeluarkan banyak
sekali uang untuk menjadikan diri mereka sebagai pemimpin kira-kira bakal minta
uang nya kembali nggak..?”
“Iya..”
“Nah itu, mustahil kalo
ndak…”
Ali terdiam memikirkan
kembali ucapan ayahnya yang tidak jauh berbeda dengan apa yang didengarnya di
sekolahan.
“Kalau begitu mereka
dapat uangnya dari korupsi ya pa? biar balik modal?”
“Tidak harus korupsi
juga” Ayah Ali sedikit menggelengkan kepalanya
tanda tak sependapat.
“Trus kalau begitu..?”
“Rumusannya kompleks
banget sebenarnya, Jadi misalkan dia itu punya pemasok uang dari pengusaha atau
kartel apapun. Mereka yang mendanai semua biaya kampanye. Nah akibatnya nanti
pasti si kartel itu bakal meminta kembali balasan jika si calon itu jadi. Bisa
juga mereka mempengaruhi kebijakan pemerintahan untuk kepentingan mereka
sendiri. Jadi pemimpin itu bakal jadi seperti boneka. Dan Kartel inilah yang
disebut pemimpin bayangan.”
“Wah ngeri juga ya..”
“Nah itu kalau modal dibiayain,
tapi kalo dari kantong sendiri biasanya senekat-nekat mereka bakal korupsi.
Kalau nggak ada kesempatan korupsi biasanya mereka akan mencari-cari proyek
yang menguntungkan keluarga atau kalangannya sendiri.”
“Oh jadi semua pemimpin
gitu ya pah,,”
“Nggak juga Al, ada
banyak juga yang jujur dan amanah. Makanya kalo milih calon pemimpin itu yang
jeli.”
“Ikuti hati nurani kan
pah..?”
“Haha, itu yang biasa
jadi slogan KPU yah..? bukan hati nurani sebenarnya. Kalau hati nurani kita
bisa milih sesuka hati, entah kerena tampangnya atau karena uangnya. Tapi kita
harus milih berdasarkan visi dan misi mereka untuk memajukan bangsa ini..”
“Jadi pemilih yang
cerdas ya pah..”
“Betul..!!!”
Ayah, Ibu dan anak ini
akhirnya tersenyum bersama dan menemukan pandangan baru atas pencerdasan
politik dalam keluarga. Pencerdasan itu ada di semua elemen masyarakat, inilah
yang harus dimulai dari yang terkecil. Keluarga.
Semarang, 10 Maret 2013
Badiuzzaman
Post Comment
EmoticonEmoticon