Banda
Aceh, 26 Desember 2004
Ratusan orang berhimpun
dalam kesedihan yang tampak larut kepanjangan. Dua hari yang lalu terasa jelas
Negeri ini tertimpa bencana yang menggemparkan dunia. Membuat kejelasan yang
nyata bahwa dunia ini telah tua setua-tuanya. Telah bosan sebosan-bosannya.
Bosan akan kelakuan manusia yang merusak
alam. Bosan dengan semua ocehan para pemangku kepentingan yang tak pernah
berani mengambil tindakan yang nyata untuk menyelamatkan nyawa dunia yang kini
telah di ujung tanduk.
Serambi
mekah ini telah menjadi korban kebrutalan manusia atau mungkin alam. Entah
secara langsung atau tidak tahun 2004 ini menjadi tahun bersejarah bagi
peradaban umat manusia. Dunia dibuatnya terbungkam dengan gempa dahsyat yang
telah melahap ribuan nyawa tak bersalah yang berada di sana. Entah karena murka
atau sedang memberikan percobaan, Tuhan pasti memiliki rencana lain yang tak
pernah diketahui oleh siapapun. Termasuk manusia atau malaikat sekalipun.
Puluhan
mata terpasang dalam-dalam membuatku tak lagi berdaya melihatnya. Sebagai tim
relawan seharusnya aku lebih tegar dari pada mereka, tapi nyatanya aku hanya
bisa membantu menyembuhkan luka fisik mereka. Tidak dengan luka yang ada di
dalam. Entah karena apa aku merasa perasaan mereka telah masuk dengan paksa
dalam sanubariku. Perasaan kehilangan. Kesedihan yang begitu mendalam, seperti
ketika aku kehilangan ayahku dulu. Karena kecelakaan. Sampai saat ini aku belum
bisa merelakan itu semua. Tapi saat ini aku merasakan sesuatu yang sama
diantara aku dan mereka.
Masjid
ini telah disulap menjadi tempat pengungsian yang ramai pengunjung tetap.
Mereka menyimpan barang bawaan mereka di sini. Baju, sepatu, tas, kasur sampai
makanan bertumpuk picik menjadi satu entah mereka masih mengenali tuan mereka
atau tidak.
“Nak,
duduklah…” seorang renta yang sedang duduk di serambi dengan pakaian seadanya.
Aku menolehnya pelan.
“Kamu
terlihat pucat, istirahatlah dulu.” Orang tua itu menunjuk tempat duduk kecil
yang berada di sampingnya. Penampilannya seperti seorang ahli nujum. Kemeja gelap, kusam dilengkapi dengan
topi rimba ala jaman purba. Tak lupa tongkat reot yang terpatri di tangan
kanannya.
“Sendirian
Kek..?” ucapku pelan sembari menghempaskan diri di sampingnya.
“Dari
dulu memang kakek sendirian..”
“Keluarga
belum ketemu?”mungkin keluarga kakek ini tidak bisa ditemukan di tengah
puing-puing reruntuhan akibat Tsunami di luar sana.
“Mungkin
aku satu-satunya orang yang tidak kehilangan apa-apa di sini.”
“Maksud
kakek?”
Matanya
tertuju kepadaku dan berucap pelan. “Sudah dua tahun saya sebatang kara di
Negeri ini. Entah kemana istri dan anak-anakku.”
“Oh
maaf” Mungkin kakek ini memang orang yang tak punya siapa-siapa di negeri ini.
Walaupun penampilannya seperti ahli nujum tapi anehnya dia mengenakan kacamata
tebal ala Bung Hatta.
“Bencana
Tsunami ini sengaja dibuat oleh mereka..?”
Aku
terdiam sejenak, tak bisa mencerna kata-kata dari kakek itu. “Maksudnya apa
kek?”
“Tsunami
itu buatan…”
“Buatan
gimana? Jelas jelas karena tumbukan lempeng
bumi yang tak bisa tertahankan?” Kakek itu memang tak terlalu tua-tua
amat, mungkin sih umurnya tidak setua tubuhnya. Kulit keriputnya menunjukkan
umur 50an keatas. Tapi gaya bicaranya terlalu muda untuk dikatakan kakek. Aku
pun tak ragu untuk membantah perkataan kakek yang mulai aneh itu.
“Tsunami
itu akibat percobaan Uji coba Helium bawah air.”kakek itu memandangku lekat
seperti sinar X yang sedang berusaha menembus butiran emas.
“Aku
jadi nggak ngerti apa yang kakek bicarakan?”
“Berita
ini beberapa saat lalu disiarkan oleh jaringan televisi Al Jazeera yang mengatakan bahwa besar kemungkinan gempa dan
Tsunami di Aceh merupakan dampak uji coba bom Helium bawah laut. Tidakkah kita
curiga kenapa kapal-kapal induk Amerika datang terlalu cepat ke sini. Bahkan
lebih cepat dari pada logika manusia. Mereka berdalih memberikan misi
kemanusiaan. Bahkan sebelum bantuan dari negeri sendiri datang ke sini. Seperti
ketika terjadi pertempuran di Pearl Harbour. Kapal-kapal induk mereka yang
terlalu canggih mereka sembunyikan entah dimana. Hingga Amerika tak rugi
seberapa, padahal di sana kan pangkalan induk militer Amerika. Bahkan
kecurigaan muncul kembali setelah mereka dengan cepat bisa bangun dan menyerang
nagasaki dan Hiroshima dengan bom Atom yang begitu membabi-buta.” Kakek itu
bicara panjang lebar seperti dosenku di kampus yang selalu menjelaskan satu hal
kecil dengan sangat panjangnya. Tidak efisien
menurutku tapi ceramah itu memberikan sudut pandang baru yang terlalu
kompleks.
Aku
tak habis pikir, kenapa orang biasa seperti kakek ini tahu banyak tentang
negeri ini ya? Atau mungkin dia dulu mantan intelegen. Tapi entahlah, saya
ingin tau apa yang dipikirkan seterusnya.
“Lantas
bagaimana dengan Bom Helium itu?” Aku bertanya seperti anak polos yang tak
mengerti apa-apa dan menanyakan apa itu pada guru SD.
“Walaupun
terdengar konyol, tapi kamu pantas percaya, Jadi begini..”
Kakek
tu terhenti sejenak dan membenarkan posisi duduknya.
“Kamu
pernah berdiri di tanah lalu ada truk besar puluhan ton melintas di dekatmu.
Getaran hebat akan kamu rasakan kan. Tubuhmu akan terhuyung oleh angin yang
menghempas dari truk tersebut. Sekarang, bayangkan energi ribuan kali lebih
kuat dari truk tersebut dihantamkan ke permukaan bumi atau dasar laut, getaran
apa yang mungkin terjadi?”
“Ah,
itu nggak mungkin, semua terjadi karena alam.”
“Pernah
dengar HAARP …? Proyek besar Amerika? High
Frequency Active Auroral Researcch Program..!”
Aku
mengernyitkan alis. Sepertinya pembicaraan kita mulai ngelantur terlalu jauh.
Tapi lumayan menarik. Aku pengen tau lebih jauh lagi.
“HAARP..?
“Yah..
lembaga ini terus melakukan Riset untuk menciptakan perangkat pemicu bencana
alam. Menurut pakar mengenai kabar yang beredar bahwa AS pernah menggunakan
gelombang elektromagnetik berfrekuensi sangat Rendah yang mampu menembus
lapisan tanah dan lautan hingga ratusan kilometer dalam perut bumi. Mereka
menyebutnya ELF, Extremely Low Frequency.
Melalui modifkasi khusu gelombang itu mampu menggerakan lempeng tektonik bumi.
Teknologi ini merupakan pengembangan dair Teknologi SCALAR yang ditemukan
Ilmuwan Rusia, Niccolas Tesla tahun 1930.”
“Kakek
tau dari mana….? Teori dari mana?” dalam benakku mungkin kakek ini penganut
teori konspirasi yang telalu ekstim. Tapi menarik juga untuk bahan pebincangan.
Atau mungkin memang benar, dulunya kakek ini memang intelegen yang telah dicuci
otaknya oleh oknum tertentu. Atau mungkin dia mantan Teroris yang bertaubat.
Atau, entahlah.. Aku tak mau mempermasalahkan itu semua. Yang jelas cukup tahu
saja bahwa semua permasalahan dapat dilihat dari penjuru sudut pandang yang
berbeda.
“Nal…
sini..” seseorang dari kejauhan memanggil namaku. Dia adalah rekan satu korps
relawan.
“Sedang
apa kamu disana?”
“Cuma
nemani kakek ngobrol dikit aja ko, sambil istirahat sejenak..”
“Eh
jangan coba-coba lagi bicara dengan dia..”
“Emang
kenapa?”
“Dia
itu, kata orang-orang asli sini sudah lama …..
Temanku
itu memberikan isyarat dengan menggoreskaan telunjuknya sedikit melintang di
atas keningnya.
Aku
melihatnya kembali dari arah kejauhan dan tanpa pamit aku meninggalkan kakek
itu sendirian. Melanjutkan aktivitasku sebagai Relawan bencana alam. Entah dia
memang tidak waras seperti kata orang-orang termasuk temanku sendiri atau dia
menutup nutupi dirinya agar orang tidak percaya dan ketakutan dengan teori yang
dianutnya…
Yang
pasti, semua musibah, bencana, masalah adalah sesuatu yang bisa dilihat dari
ratusan bahkan ribuan sisi dan sudut pandang yang berbeda. Kita harus tetap pada jalur yang sesuai dengan yang
kita pahami dan tetap menghargai pendapat orang lain.
Semarang, 09 Februari 2013
Badiuzzaman
Post Comment
2 komentar
wah, mas pintar bikin fiksi. ajariiin :D
Nggak juga mba Vanisa. Saya masih belajar ko. New Bie pula.. mba juga tulisannya bagus. sudah terbit berapa buku mba Vanisa?
EmoticonEmoticon