KTP Bukan Dagangan


Pelayanan publik di Indonesia identik dengan kata “Lambat, Tak bertanggung Jawab, dan tidak tepat”. Katakanlah ketika kita membuat KTP harus menunggu satu minggu baru selesai. Padahal dalam hitungan menit saja seharusnya sudah selesai. Bahkan saya pernah mendengar Pameo Kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah. Mungkin slogan itu cocok dipajang di depan kantor-kantor pelayanan masyarakat. Uang menjadi pemicunya, kalau nggak bayar tips nggak bakal cepet. Emang mereka kekurangan duit apa!!.
            Saya pernah mengalaminya kala itu, umurku baru 17 tahun lebih sedikit. Sudah sepantasnya mendapat KTP. Benda itu sudah begitu lama saya idam idamkan. Awalnya saya pengen tau apa benar kata orang kalo bikin KTP harus nambah uang sogokan segala.
            Berlengganglah saya sendirian ke kantor kecamatan. Tanpa ada yang tau siapa diriku dan siapa ayahku. Dengan bermodalkan fotokopi KK dan surat pengantar dari Desa, saya menerobos masuk ke kantor kecamatan. Waktu itu belum tau pasti dimana tempat membuat KTP. Yaiyalah sama sekali nggak ada petunjuk di sana.

            Setelah saya masuk ada ibu-ibu berbadan agak gendut berkacamata lawas menanyaiku.
            “Ada apa dek?” saya tertegun di tempat setengah kaget mendengarnya.
            “Saya mau bikin KTP bu?” kuanggukan sedikit kepalaku sambil berdiri posisi ngapurancang ala seorang yang datang untuk bertamu. Seraya saya mendekati meja tempatnya bekerja.
            “Sudah 17 Tahun? Pertama kali ya?” tanya ibu itu seraya mengendorkan kacamata lawas yang terlihat terlalu kecil untuknya.
            “Sudah dong bu.. iya bu pertama kali”
            “Bawa fotokopi KK sama Pengantar dari Desa?”
            “Bawa bu, nih..” saya memperlihatkan dua keping kertas yang sedari tadi terpatri di tangan kananku.
            “Oh ya, Duduk situ..” pandangannya beralih ke kursi yang ada di depan mejanya.
            “Baik bu,” saya duduk tepat di kursi yang dia alihkan untukku. Mungkin di sinilah tempat orang-orang membuat KTPnya. Tempat mereka bernegosiasi harga KTP. Seperti mereka bernegosiasi harga sayur di pasar. Suka nggak suka pembeli di sini memang harus menerima berapapun permintaan penjual. Karena tak ada tempat lain yang menjual KTP selain di Kecamatan. Seandainya ada kecamatan milik Swasta dengan pelayanan prima pasti mereka semua berbondong-bondong membeli KTP di sana.
            “Mau biasa atau cepet?”
            “Emang beda ya bu?” saya bertanya seperti seorang anak TK yang menanyakan berapa jumlah balon yang ada di depan kelas.
            “Iya lah, kalau cepat besok jadi kalo biasa ya nunggu seminggu lagi.”
            “Kenapa harus nunggu seminggu..?” saya terperanjat masih dalam posisi duduk. Ternyata semua yang dikatakan orang itu benar. Mereka yang ada di sini bukanlah pelayan rakyat tapi mereka preman dan premanwati yang dilegalkan. Mungkin kalau ada pelegalan profesi pencuri mereka masuk dalam kategori itu. Mencuri uang rakyat dengan sama-sama memberi kata sepakat.
            “Kan banyak yang ngantri, numpuk tuh.” Sambil menunjuk tumpukan kertas yang ada di mejanya.
            “Perasaan di sini sepi deh bu, nggak ada antrian.”
            “Hemmm, jadi mau gimana nih..?” suaranya meninggi. Saya tidak mau ambil pusing dan masalah tambah runyam.
            “Saya yang cepat saja..”
            “Uangnya lima puluh ribu..”
            “Hah.. Buat apa bu..? Katanya Gratis. Atau paling Cuma lima ribu buat ganti kertas kan?” saya terus melakukan pembelaan siapa tau dia mau berbelas kasih dengan anak yang masih berbau kencur sepertiku.
            “Itu buat ngisi Kotak..!”
            “Kotak apaan bu..?”
            “Jadi mau bikin nggak..!!!” mukanya sudah mulai memasam. Dari pada saya nggak bisa buat KTP mending saya turuti saja dulu.
            “Yaudah saya buat satu minggu saja nggak apa-apa.”
            Setelah saya selesai mengurus syarat-syaratnya, saya langsung pulang ke rumah dan bercerita sama bapak. Bapakku marah kenapa saya buat KTP nggak bilang bilang. Saat itu langsung saja saya diajak kembali ke kantor kecamatan dan ditemuinya perempuan tadi yang mengurusi pembuatan KTP saya.
            Sontak saja Ibu-ibu itu kaget dan terlihat pucat pasi setelah mendengar bahwa saya adalah anaknya. Sejam berselang setelah Foto KTP baruku sudah selesai.
            Apakah ini cerminan Pelayanan Masyarakat yang super duber buruknya..!!!
            Harusnya ada tempat khusus buat Pengaduan pelayanan masyarakat di sini. Ombudzman,..!!
            Buat KTP Saja harus bayar mahal kalau nggak harus bawa orang dalem. Ini bukannya Bibit-bibit korupsi yang siap menggerogoti tubuh indonesia dari luar dan dalam.

Semarang, 20 Februari 2013
Badiuzzaman
Badiuzzaman
Badiuzzaman

Previous
Next Post »

Post Comment