Dia Memang Copet


            Seseorang berlari cepat melewati Tria seperti kilat yang datang di siang bolong. Mungkin dia sedang buru-buru karena terlambat ke stasiun atau terminal. Atau mungkin saja seorang pencopet yang sedang berlari di kejar masa. Seandainya Tria diam saja mungkin nasibnya akan seperti spidermen. Si Pencopet itu bisa jadi membunuh orang yang kita sayangi. Atau mungkin mencuri barang milik orang yang kita sayangi.
            Tapi apa pentingnya, Tria tak mau ambil pusing hanya gara-gara orang yang berlari tampa bekas di depannya. Dia sedang gelisah memikirkan nasibnya sendiri. Sibuk dengan angan yang tak kunjung tercapai. Sibuk dengan segala rencana yang tak kunjung terlaksana. Rencana sudah sangat matang di benaknya. Bahkan sudah hampir sekali ditulisnya di sebuah buku catatan. Tapi itu hanya sebuah hampir. Dia ingin menulis semua daftar apa yang akan dia lakukan jika pekerjaannya itu berhasil.
            Pria muda ini terus berangan-angan semua yang akan dia dapatkan dari pekerjaan ini. Ibarat kata Tria ini sedang menghitung jumlah ayam yang masih berupa telur. Belum menetas. Belum terlihat di dunia. Belum bisa dikatakan akan menetas semua. Tapi dia selalu memprediksikan akan berhasil 80%.
            Semua uang yang akan dia dapatkan sudah dihitungnya sedemikian detail. Hingga seribu perak, dia sudah rencanakan dengan sangat matang mau dikemanakan uang itu.
            “Hey Tria… ngapain bengong di halte sendirian..? kaya orang ilang aja..”
            “Eits, jangan salah. Saya itu sedang bekerja.”

            “Bekerja..? Bekerja apaan Cuma bengong giitu..!!!” pria bertubuh cungkring itu hanya bisa merengut dan menahan tawa yang sangat berat.
            “Wah belum tau ya kerjaan ku ini. Emang gini kerjaanku sehari hari.”
            “Heh.. dengerin ya. Jangan Cuma kaca mata yang ditebelin. Telinga juga ditebelin biar bisa denger dengan baik dan benar. Gini ya bro, bukannya aku mau meremehkan kamu atau menganggap kamu kenapa-napa, tapi dari pada kamu melamun kagak jelas mending kerja yang jelas-jelas aja. Jadi kernet atau supir ke, ngomong tu ke Haji Komar. Pasti boleh lah, apalagi kamu itu seorang sarjana man..!!”
            “Rendy, Rendy, nyari kerja jaman gini ni susah baget makanya aku nekunin pekerjaan ini ni. Hasilnya gede. Itu pasti. Nanti kalo aku sudah dapat uangnya nanti kamu tek traktir dah. Atau kalo perlu tek beliin motor dah biar jualan martabakmu bisa laris.” Tria terus bicara seolah dirinya jauh lebih ngerti dari pada Rendy.
            “Atau sementara kamu kerja sama aku aja.. Tria. Biar nggak nganggur terus..!!” Rendy duduk di samping Tria dengan terus memandangi wajah sahabatnya itu dengan begitu lekat.
            “Ah kamu itu, usaha kamu itu dari dulu sejak kita lulus SMA belum bisa dapet apa-apa. Mana? Motor aja belum punya..!!”
            “Wah, jangan ngemehin ya. Biar gini-gini aku sudah bisa mandiri, nggak minta-minta duit lagi dari orang tua.” Randy mulai menampakan wajahnya yang agak sini dengan perkataan Tria. Mungkin karena Tria sejak dulu selalu merasa lebih dari dirinya. Merasa lebih cerdas, merasa lebih bisa bergaul dan sekarang merasa lebih tinggi derajadnya karena bertitel sarjana. Walaupun masih pengangguran. Tapi setidaknya orang-orang memandangnya sebagai seorang yang terdidik dari pada dirinya yang hanya lulusan SMA.
            Tria memang dulu teman sekelas Randy yang paling dekat. Kemana-mana terlihat bareng. Dimana ada Randy disanalah ada Tria. Walaupun Tria selalu mengalahkan Randy dalam hal akademik, tapi Randy tak pernah minder ataupun mengucilkan diri. Dia selalu merasa dirinya harus banyak belajar. Terus mempelajari hal-hal yang ingin dipelajarinya. Status sosial mereka juga tak terlalu sama. Randy tak bisa meneruskan ke jenjang kuliah karena masalah dana. Sementara Tria melenggang tanpa hambatan sampai di perguruan tinggi.
            “Ah.. dasar tukang martabak. Emang kamu tau apa..?!!”
            “Heeeh… apa-apaan kamu ini. Gini-gini aku mencari rezeki khalal ya. Emangnya kamu, Cuma melamun bisa dapet duit dari mana? Copet atau ngepet..?!!”
            “Aku ini calon penulis besar tau..!! lihat saja bentar lagi aku akan menuli buku paling fenomenal. Paling laris. Lebih laris dari bukunya Kang Abik. Lebih populer dari buku 5cm nya Deny Dirgantara.. ingat itu. Aku di sini sedang menncari inspirasi untuk tulisanku..!! kamu jangan salah.”
            Randy bangkit dari duduknya. “Ah… kamu ini emang dari dulu selalu keras kepala. Terserah kamu mau jadi apa ke, aku nggak peduli. Mau jadi penulis besar kek. Mau jadi pengarang bebas kek atau jadi penerjemah sekalipun terserah…!!” Dia terlihat sangat marah dan meninggalkan mantan temannya itu yang telah merusak persahabatan dengan lidah tak bertulangnya dalam sekejap.
            Ah dasar orang nggak berpendidikan. Taunya hanya bikin martabak aja. Tria berujar dalam hati dan kembali lagi menatap kendaraan yang berlalu lalang di depannya.
            Orang yang tadi berlari di depannya kembali datang dari arah berlawanan. Berjalan tergesa-gesa dan melemparkan dompet ke pangkuan Tria. Dia lihat dompet itu dan isinya kosong. Orang tadi entah menghilang ke mana, menelusup masuk ke gang-gang kecil dengan santainya. Tria mengacungkan dompet itu dan memanggil sekeras mungkin. Tapi dia tak berpaling ke belakang.
            Tiba-tiba kerumunan orang berkejaran dari arah orang misterius itu muncul. Berlarian membawa pentungan dan berteriak-teriak.
            “Copet. Copet..!!!”
            Tria bingung dan kacau bukan kepalang. Orang-orang itu mengelilinginya dengan mata melotot.
            “Kamu copetnya ya..!!” kata salah seorang darinya.
            “Copet apaan..”
            “Ah, mana ada copet yang ngaku.” Mereka langsung bersiap mengeroyok Tria dengan ganasnya.
            “Eh tunggu-tunggu.” Tri mengangkat telapak tangannya menghadang orang-orang yang mendesaknya. “Tanya saja sama tukang martabak di sana.” Sambil mengacungkan tangan ke arah Randy.  “Aku dari tadi duduk di sini.!!”
            “Heh mas, bener yang dikatakan orang ini..!!” seseorang mendekati Randy. Namun Randy menggeleng dan mengangkat bahunya dengan capat.
            “Enggak tau mas ada orang di sana.”
            Serempak orang-orang ini langsung memukuli Tria sampai babak  belur dan dibawanya ke kantor polisi terdekat.

Semarang, 21 Februari 2013
Badiuzzaman
Badiuzzaman
Badiuzzaman

Previous
Next Post »

Post Comment