Jangan Jadi Kutu Buku !!


            Ruangan ini kembali sepi. Tak ada orang keluar masuk. Hanya debu dan angin yang terus beterbangan mencari benda yang akan mereka  hinggapi. Mencari benda-benda yang sudah terlihat usang dan bosan di sana. Walaupun selalu ada penjaga yang mengusirnya setiap hari. Tapi mereka terus saja mengelus-elus benda yang tak sering bergerak di sana. Mereka menari-nari ibarat berada di sebuah panggung teater. Memainkan peran sebagai romeo dan juliet yang sedang kasmaran. Mengunci mata penonton dengan gerakan lembut nan indah mereka.
            “Kreet..” sebuah pintu tua tergeser ke belakang. Menggema diantara dinginnya suara yang mulai membeku. Membuyarkan konsentrasi orang-orang yang sedang serius di dalamnya. Membuat mata penjaga bergerak cepat menuju ke arahnya.
            Seorang lelaki muda berambut pendek melangkah pelan menuju ke ruaangan itu. Melihat sekeliling yang telah dirasuki sepi yang meradang. Beraura tenang dan menghanyutkan. Gedung tua itu memang terlihat seram karena umurnya  yang sudah hampir seabad. Sedari pertama di bangun hingga kini tempat itu tak pernah kehilangan kesakralannya yang menguat cakrawala. Walaupun sekarang memudar karena datangnya sebuah mesin balok yang menyala. Yang dapat memberikan semua informasi yang manusia butuhkan.
            Lelaki itu membawa dua buku besar bertuliskan bahasa asing. Mungkin dia anak sastra atau anak bahasa. Tapi dari mukanya dia tak terliahat sebagai orang yang suka membaca. Pria berkemeja hitam itu mendekati penjaga yang tengah duduk di depan meja besarnya. Sedang santai mengotak atik komputer di depannya.

            “Permisi bu..” dua buku besar diletakan rapi di atas meja penjaga dengan tenang. “Saya mau mengembalikan buku.” Ucapnya dengan santai.
            “Ramlan Sinaga..?” ucap penjaga bertubuh tambun itu sembari melihat kartu yang telah dikeluarkan Ramlan dari dalam saku celananya.
            “Betul, Bu.” Ramlan mengangguk sedang.
            “Anda sudah terlambat dua hari.” Dilonggarkannya kaca mata tebal sembari melihat kertas daftar nama yang sedang dipegangnya.
            “Maaf bu, kemaren saya kelupaan.”
            “Yasudah, jangan diulangi lagi. Dendanya empat ribu, karena sudah dua hari.” Dia menatap wajah Ramlan yang sedikit terkaget karena baru pertama kali ini dia di denda karena terlambat mengembalikan buku.
            Ramlan merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan uang lima ribuan. Diserahkannya kepada penjaga itu dan dikembalikan bersamaan kartu pengenal dan dua keping uang lima ratusan.
            Seperti biasanya setelah jauh, jauh dari rumah menuju ke sini akan terasa sia-sia kalau hanya untuk mengembalikan buku. Langkah kakinya memaksanya melewati beberapa rak buku yang menjulang begitu tinggi melewati tinggi badannya, menuju beberapa tempat duduk yang kosong. Tidak semuanya kosong. Beberapa ada orang yang sedang berdiskusi serius dengan disandingkan beberapa tumpuk  buku bacaan di depannya.
            Ramlan tertarik dengan buku Alfred Suci yang menceritakan tentang konspirasi dunia. Ditariklah buku itu dengan cepat.
            “Suka buku itu juga..?” mendadak ada seorang gadis berkacamata tebal mendekatinya. Tepat membawa buku yang sama dengan yang dia pegang. Setengah kaget sampai-sampai Ramlan tidak mendengar apa yang tadi diucapkan gadis berkulit kuning langsat itu.
            “Hah. Kenapa?” Ramlan terhenyak dari ketermenungan kilat yang menyabarnya.
            Dia tersenyum manis mirip dengan teller yang siap melayani customernya “Suka buku itu…” sambil menunjuk ke arah buku yang baru dipegang Ramlan.
            “Eyh, baru mau lihat. Bagus ya..?”
            “Lumayan kelihatannya, ni aku juga mau pinjam.”
            “Wah, kamu pasti suka baca ya, setiap kali aku kesini hampir selalu melihat kamu sedang baca di ujung sana, biasanya.” Sambil menunjuk ujung lorong ruangan itu.
            “Ya gitu deh.”
            “Hmm, duduk di sana yuk, sambil ngobrol…”
            Mereka berjalan perlahan menuju tempat duduk yang tertata rapi mengelilingi meja bundar yang sengaja dibuat untuk berdiskusi. Meletakan buku yang sama di atas meja itu. Mungkin kalau itu café mereka sudah memesan star buck yang akan mengiringi pembicaraan seorang lelaki dan perempuan yang baru kenalan, eh maksudnya baru akan kenalan.
            “Oh ya, kenalin, namaku Ramlan.” Sambil menyodorkan tangan kanan untuk berjabat.
            “Aku Lisa.”
            “Lisa. Hmm, nama yang bagus.”
            “Hehe. Terimakasih” pipinya merona, sedikit merunduk dengan pelan.
            “Lisa setiap hari ke sini ya..?”
            “Nggak juga, kalau lagi boring sama gak ada temen aja ke sini. Lumayan deket sih soalnya. Jadi keseringan juga. Kamu?”
            “Tempat ku jauh, aku ke sini kadang seminggu sekali atau dua minggu sekali. Iseng nyari materi kuliah sama baca-baca aja buat cari inspirasi.” Ramlan masih terlihat kagok dengan Lisa yang sepertinya jumlah buku yang telah dibaca jauh lebih banyak dari padanya.
            “Kamu hobi baca ya.?”
            “Iya lah, kalo nggak ngapain di sini.” Ramlan terlihat mati kutu dengan pertanyaannya sendiri yang membuatnya terlihat culun.
            “Aku juga suka baca, membaca itu bisa membuat kita cerdas.”
            “Pintar maksudnya, cerdas itu beda lagi.”
            “Ya, itu maksud saya.
            “Aku sebenarnya iri dengan orang-orang yang ada di luar sana. Yang bekerja, bermusik, menari, berenang, ndaki gunung, berenang di pantai.. dan semua yang bisa mereka lakukan.”
            Ramlan terheran.”Iri kenapa? Bukannya kamu juga di sini mendapat banyak sekali ilmu, pemikiran dan aku yakin mereka belum tentu lebih pintar dari kamu.”
            Lisa menhela nafas dan membetulkan posisi kacamata tebalnya. “Memang membaca itu membuat kita pintar atau apalah tapi pengalaman itu yang akan membuat kita bijaksana. Hidup itu tidak hanya dengan kepintaran dan kecerdasan tapi juga dengan kebijaksanaan.”
            “Waw… aku baru kali ini mendengar kata-kata itu. Seumur hidupku baru kali ini dah, serius.”
            “Nggak usah muji dah..”
            “Hmm, gini aja, kebetulan aku suka ndaki gunung bareng temen-temen. Kalau kamu pengen ikut boleh ko. Gmana? Mau? Robongan, rame ko. Ada ceweknya juga.”
            “Berapa orang yang ikut?”
            “Sembilan orang, ceweknya tiga. Kalo kamu mau ikut berarti ceweknya ada 4. Gimana?”
            “Wah serius. Mau mau mau.. aku pengen cari pengalaman dah.”
            Mereka berdua tampak sangat akrab dalam sekejap. Sulit mengetahui kalau mereka baru saja kenal beberapa menit yang lalu. Ramlan dan Lisa bertukar no.HP dan PIN BB sebelum mereka berpisah setelah keluar dari perpustakaan daerah yang mempertemukan mereka.
            Seminggu kemudian mereka berangkat mendaki gunung Sindoro bersama kawan-kawannya. Mereka nampak sangat akrab dan sering terlihat bersama. Hingga akhirnya setelah sebulan merasa cukup untuk berkenalan Ramlan memutuskan untuk menjadikan Lisa pasangan hidupnya. Lisa pun tak sulit untuk ditaklukan. Bahkan tidak sampai satu tahun mereka berpacaran, Janur kuning pun melengkung di depan rumah mereka berdua. Menikah. So sweet…

Semarang, 20 Februari 2013
Badiuzzaman

            
Badiuzzaman
Badiuzzaman

Previous
Next Post »

Post Comment

2 komentar

February 25, 2013 at 12:03 PM Reply Delete Delete

isha bingung mas dengan kata-kata ini "Hidup itu tidak hanya dengan kepintaran dan kecerdasan tapi juga dengan kepintaran."
maksudnya gimana?

avatar
Badiuzzaman
AUTHOR
February 25, 2013 at 9:43 PM Reply Delete Delete

Hoho.. maaf salah ketik. lupa belum di teliti lagi.. yang bener
"Hidup itu tidak hanya dengan kepintaran dan kecerdasan tapi juga dengan kebijaksanaan"
:)
makasih koreksinya

avatar