Ruangan
ini kembali sepi. Tak ada orang keluar masuk. Hanya debu dan angin yang terus
beterbangan mencari benda yang akan mereka
hinggapi. Mencari benda-benda yang sudah terlihat usang dan bosan di
sana. Walaupun selalu ada penjaga yang mengusirnya setiap hari. Tapi mereka
terus saja mengelus-elus benda yang tak sering bergerak di sana. Mereka
menari-nari ibarat berada di sebuah panggung teater. Memainkan peran sebagai
romeo dan juliet yang sedang kasmaran. Mengunci mata penonton dengan gerakan
lembut nan indah mereka.
“Kreet..”
sebuah pintu tua tergeser ke belakang. Menggema diantara dinginnya suara yang
mulai membeku. Membuyarkan konsentrasi orang-orang yang sedang serius di
dalamnya. Membuat mata penjaga bergerak cepat menuju ke arahnya.
Seorang
lelaki muda berambut pendek melangkah pelan menuju ke ruaangan itu. Melihat
sekeliling yang telah dirasuki sepi yang meradang. Beraura tenang dan
menghanyutkan. Gedung tua itu memang terlihat seram karena umurnya yang sudah hampir seabad. Sedari pertama di
bangun hingga kini tempat itu tak pernah kehilangan kesakralannya yang menguat
cakrawala. Walaupun sekarang memudar karena datangnya sebuah mesin balok yang
menyala. Yang dapat memberikan semua informasi yang manusia butuhkan.
Lelaki
itu membawa dua buku besar bertuliskan bahasa asing. Mungkin dia anak sastra
atau anak bahasa. Tapi dari mukanya dia tak terliahat sebagai orang yang suka
membaca. Pria berkemeja hitam itu mendekati penjaga yang tengah duduk di depan
meja besarnya. Sedang santai mengotak atik komputer di depannya.
“Permisi
bu..” dua buku besar diletakan rapi di atas meja penjaga dengan tenang. “Saya
mau mengembalikan buku.” Ucapnya dengan santai.
“Ramlan
Sinaga..?” ucap penjaga bertubuh tambun itu sembari melihat kartu yang telah
dikeluarkan Ramlan dari dalam saku celananya.
“Betul,
Bu.” Ramlan mengangguk sedang.
“Anda
sudah terlambat dua hari.” Dilonggarkannya kaca mata tebal sembari melihat
kertas daftar nama yang sedang dipegangnya.
“Maaf
bu, kemaren saya kelupaan.”
“Yasudah,
jangan diulangi lagi. Dendanya empat ribu, karena sudah dua hari.” Dia menatap
wajah Ramlan yang sedikit terkaget karena baru pertama kali ini dia di denda
karena terlambat mengembalikan buku.
Ramlan
merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan uang lima ribuan. Diserahkannya kepada
penjaga itu dan dikembalikan bersamaan kartu pengenal dan dua keping uang lima
ratusan.
Seperti
biasanya setelah jauh, jauh dari rumah menuju ke sini akan terasa sia-sia kalau
hanya untuk mengembalikan buku. Langkah kakinya memaksanya melewati beberapa
rak buku yang menjulang begitu tinggi melewati tinggi badannya, menuju beberapa
tempat duduk yang kosong. Tidak semuanya kosong. Beberapa ada orang yang sedang
berdiskusi serius dengan disandingkan beberapa tumpuk buku bacaan di depannya.
Ramlan
tertarik dengan buku Alfred Suci yang menceritakan tentang konspirasi dunia.
Ditariklah buku itu dengan cepat.
“Suka
buku itu juga..?” mendadak ada seorang gadis berkacamata tebal mendekatinya.
Tepat membawa buku yang sama dengan yang dia pegang. Setengah kaget
sampai-sampai Ramlan tidak mendengar apa yang tadi diucapkan gadis berkulit
kuning langsat itu.
“Hah.
Kenapa?” Ramlan terhenyak dari ketermenungan kilat yang menyabarnya.
Dia
tersenyum manis mirip dengan teller yang siap melayani customernya “Suka buku
itu…” sambil menunjuk ke arah buku yang baru dipegang Ramlan.
“Eyh,
baru mau lihat. Bagus ya..?”
“Lumayan
kelihatannya, ni aku juga mau pinjam.”
“Wah,
kamu pasti suka baca ya, setiap kali aku kesini hampir selalu melihat kamu
sedang baca di ujung sana, biasanya.” Sambil menunjuk ujung lorong ruangan itu.
“Ya
gitu deh.”
“Hmm,
duduk di sana yuk, sambil ngobrol…”
Mereka
berjalan perlahan menuju tempat duduk yang tertata rapi mengelilingi meja
bundar yang sengaja dibuat untuk berdiskusi. Meletakan buku yang sama di atas
meja itu. Mungkin kalau itu café mereka sudah memesan star buck yang akan
mengiringi pembicaraan seorang lelaki dan perempuan yang baru kenalan, eh
maksudnya baru akan kenalan.
“Oh
ya, kenalin, namaku Ramlan.” Sambil menyodorkan tangan kanan untuk berjabat.
“Aku
Lisa.”
“Lisa.
Hmm, nama yang bagus.”
“Hehe.
Terimakasih” pipinya merona, sedikit merunduk dengan pelan.
“Lisa
setiap hari ke sini ya..?”
“Nggak
juga, kalau lagi boring sama gak ada temen aja ke sini. Lumayan deket sih
soalnya. Jadi keseringan juga. Kamu?”
“Tempat
ku jauh, aku ke sini kadang seminggu sekali atau dua minggu sekali. Iseng nyari
materi kuliah sama baca-baca aja buat cari inspirasi.” Ramlan masih terlihat
kagok dengan Lisa yang sepertinya jumlah buku yang telah dibaca jauh lebih
banyak dari padanya.
“Kamu
hobi baca ya.?”
“Iya
lah, kalo nggak ngapain di sini.” Ramlan terlihat mati kutu dengan
pertanyaannya sendiri yang membuatnya terlihat culun.
“Aku
juga suka baca, membaca itu bisa membuat kita cerdas.”
“Pintar
maksudnya, cerdas itu beda lagi.”
“Ya,
itu maksud saya.
“Aku
sebenarnya iri dengan orang-orang yang ada di luar sana. Yang bekerja,
bermusik, menari, berenang, ndaki gunung, berenang di pantai.. dan semua yang
bisa mereka lakukan.”
Ramlan
terheran.”Iri kenapa? Bukannya kamu juga di sini mendapat banyak sekali ilmu,
pemikiran dan aku yakin mereka belum tentu lebih pintar dari kamu.”
Lisa
menhela nafas dan membetulkan posisi kacamata tebalnya. “Memang membaca itu membuat
kita pintar atau apalah tapi pengalaman itu yang akan membuat kita bijaksana.
Hidup itu tidak hanya dengan kepintaran dan kecerdasan tapi juga dengan kebijaksanaan.”
“Waw…
aku baru kali ini mendengar kata-kata itu. Seumur hidupku baru kali ini dah,
serius.”
“Nggak
usah muji dah..”
“Hmm,
gini aja, kebetulan aku suka ndaki gunung bareng temen-temen. Kalau kamu pengen
ikut boleh ko. Gmana? Mau? Robongan, rame ko. Ada ceweknya juga.”
“Berapa
orang yang ikut?”
“Sembilan
orang, ceweknya tiga. Kalo kamu mau ikut berarti ceweknya ada 4. Gimana?”
“Wah
serius. Mau mau mau.. aku pengen cari pengalaman dah.”
Mereka
berdua tampak sangat akrab dalam sekejap. Sulit mengetahui kalau mereka baru
saja kenal beberapa menit yang lalu. Ramlan dan Lisa bertukar no.HP dan PIN BB
sebelum mereka berpisah setelah keluar dari perpustakaan daerah yang
mempertemukan mereka.
Seminggu
kemudian mereka berangkat mendaki gunung Sindoro bersama kawan-kawannya. Mereka
nampak sangat akrab dan sering terlihat bersama. Hingga akhirnya setelah
sebulan merasa cukup untuk berkenalan Ramlan memutuskan untuk menjadikan Lisa
pasangan hidupnya. Lisa pun tak sulit untuk ditaklukan. Bahkan tidak sampai
satu tahun mereka berpacaran, Janur kuning pun melengkung di depan rumah mereka
berdua. Menikah. So sweet…
Semarang, 20 Februari 2013
Badiuzzaman
Post Comment
2 komentar
isha bingung mas dengan kata-kata ini "Hidup itu tidak hanya dengan kepintaran dan kecerdasan tapi juga dengan kepintaran."
maksudnya gimana?
Hoho.. maaf salah ketik. lupa belum di teliti lagi.. yang bener
"Hidup itu tidak hanya dengan kepintaran dan kecerdasan tapi juga dengan kebijaksanaan"
:)
makasih koreksinya
EmoticonEmoticon