Pengamen Jalanan


Mobil-mobil bergerak malas di tengah kepungan raja-raja jalanan yang telah membuat kemacetan terpanjang selama sejarah. Udara panas terus mengancam mereka untuk segera beranjak dari tempatnya kini, atau mereka akan terbakar dengan sengatan panas yang tak tertahankan. Setan-setan berkejaran membawa sebuah bilah yang siap dihunuskan ke tubuh malaikat yang selalu memerintahkan orang-orang untuk  bersabar.
            Terlihat rombongan pengamen bergerak cepat seolah tak mau kehilangan kesempatan berharga ini untuk meraup uang dari para pengemudi yang diam di tempat. Mata mereka terpatri pada mobil-mobil keluaran terbaru untuk dijadikan mangsa empuk kebringasan si kutu jalanan ini. Pakaian rombeng yang mereka kenakan siap mengelabui para pengendara yang tak pelak hanya bisa manyung melihat sedikit demi sedikit uang receh yang mereka sediakan tidak cukup untuk membuat semua pengamen pergi dari tempatnya.
            Tiga orang berpenampilan lusuh tampak mendekati sebuah mobil merah yang tampak mencolok diantara yang lainnya. Mata mereka terpasang memelas hingga uang bisa jatuh di telapak tangan. Hanya bermodalkan satu gitar dan tepukan tangan mereka setiap hari mampu mengantongi lebih dari 500 ribu. Terkadang tanpa gitarpun bisa menghasilkan, yakni dengan sebatas tutup botol minuman bersoda yang dihubungkan dengan menggunakan kawat.
            “Pah, ko dikasih sama mereka sih uangnya?”
            Pria berkacamata yang ada di sampingnya mendadak terkagetkan mendengar anak perempuannya berujar seperti itu. Sepertinya memang peri kecilnya ini perlu belajar ikhlas dan berlatih memberi untuk orang lain.
            “Lho, itu namanya sedekah.”

            “Tapi pah, mereka kan masih sehat segar bugar. Mereka bisa bekerja. Kata ibu guru di sekolah, kalau ada pengamen nggak usah dikasih. Biar mereka nggak keterusan dan membuat mereka malas bekerja. Berarti ibu guru salah ya…?” ucap gadis bertubuh mungil dengan kacamata kecil yang selalu menemani melihat semua hal yang ingin dia pelajari.
            “Ibu Guru nggak salah Sayang, nanti kamu juga tau kalau sudah dewasa.”
            “Yah papah, tu kan mulai lagi. Masa ada rahasia-rahasiaan segala. Ceritain dong pah, pasti Rana ngerti ko…!” Rana tersengggut murung mendengar ucapan ayahnya yang seolah meremehkannya. Mungkin itu hal biasa yang dilakukan oleh seorang ayah untuk menghindari pertengkaran di pagi hari.
            “Huffth.. Baiklah sayang. Jadi gini, semua orang itu berhak berpendapat dan setiap orang pasti pendapatnya berbeda. Nah, pendapat yang berbeda itu karena mereka melihat dari sisi yang berlainan. Misalnya gini, papa memberikan pengamen itu atas dasar kasian, ingin berbagi atau karena takut mobil kita digores bagian  belakangnya sama mereka. Semua tergantung ini ni…” sambil menunjuk ke arah dadanya. Memberikan isyarat tentang hati manusia yang pada akhirnya akan menentukan semuanya.
            “Terus papa kenapa ngasih..?”
            “Papa hanya apresiasi sama usaha mereka dan mau berbagi saja, toh uang seribu dua ribu aja buat mereka cukup ko…” senyum papa mengembang seolah telah membuat putrinya itu mengerti dan tak salah sangka lagi.
            “Tapi pah…?”
            “Tapi kenapa sayang…?” jawabnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang seorang ayah. Sekalipun  mempertanyakan sebanyak seratus kali hal yang sama, ayah tak pernah marah. Ayah hanya akan marah jika Rana berbohong. Karena bohong itu adalah hal yang paling dibencinya.
            “Kalau papa mau apresiasi papa kan bisa beli ke pedagang asongan yang tadi lewat. Kenapa papa nggak beli..?”
            Wajahnya terlihat kaget dengan pertanyaan anaknya yang tak pernah disangka akan ditanyakan oleh orang seusianya. Kritis dan tajam, tapi pikirannya harus benar-benar diarahkan agar tidak salah jalan dan akan membahayakan menjadi kebrutalan yang tak terbantahkan. Namun kali ini sepertinya tak perlu dijawabnya dengan serius. Mungkin sedang malas berdebat panjang.
            “Kalo beli makanan ke mereka terus kita sakit perut gimana dong?” raut wajah ayah serasa sangat puas bisa membalikan pertanyaan ke Rana.
            “Mereka kan lebih berusaha keras dari pada para pengamen yang hanya minta-minta doang. Padahal hasil mereka nggak sebanyak pengamen itu kan pah..?” Rana memalingkan wajahnya tajam ke arah ayahnya itu.
            Perlahan mobil mereka bisa lepas dari kemacetan dan telah memasuki kawasan sekolah Rana.
            “Ya. Ya…” hanya menganggukkan kepala seraya senyum terkembang yang tampak di wajahnya.
            “Yah, papa..” Rana langsung keluar dari mobilnya dengan sigapnya.
            “Eits.. ada yang lupa nggak?” jari telunjuk ayah mengarah ke pipinya disertai senyuman manis yang selalu ada setiap paginya.
            Rana sekejap saja langsung mendaratkan bibirnya ke ayahnya yang masih duuk terdiam di depan kemudi.
            “Dah papa…” Rana berlari meninggalkan mobil menuju ke pintu gerbang sekolah menghampiri teman-temannya yang kebetulan masih berada di sana.

Semarang, 14 Februari 2013
Badiuzzaman  
Badiuzzaman
Badiuzzaman

Previous
Next Post »

Post Comment

2 komentar

Artha Amalia
AUTHOR
February 15, 2013 at 10:47 AM Reply Delete Delete

iya, ngasih ke pengamen dan pengemis emang kontroversi. tapi kasihaaan -____-

avatar
Badiuzzaman
AUTHOR
February 15, 2013 at 11:15 AM Reply Delete Delete

Sebagai kawula muda kita harus bikin lapangan kerja nih... biar mereka bisa mengenyam pekerjaan yang lebih layak.. :)

avatar