Aku sedang duduk di
depan komputer yang sangat setia pada diriku seharian ini. Ditemani secangkir
jus apel dingin dan speaker yang tanpa henti melantunkan lagu-lagu semangat,
walau terkadang lagu galau pun bisa dengan susah payah masuk di sana.
“Mas masih ada buku
bacaan ndak?”tiba-tiba dia mengundangku dengan bagitu lembut. Cantik, tinggi,
dan putih tentunya. Seandainya dia bukan lah siapa-siapaku mungkin aku sudah
jadikan dia pacar. Tapi sayang dia itu keponakan perempuanku. Namanya Wulan.
Penampilannya selalu terlihat menawan dilihat dari manapun. Mengundang setiap
mulut lelaki untuk say “Hello” kepadanya.
“Buku bacaan apa?” saya
menoleh perlahan melihat dirinya yang mendadak berada di sampingku.
“Buku apa aja lah. Lagi
seneng baca buku ni mas. Kemaren buku yang dari mas isinya bagus.” Wulan
tersenyum merona seperti seorang bidadari yang tersenyum seandainya si Jaka
Tarub tidak mencuri selendangnya.
“Buku yang mana?”
sepertinya memoriku perlu di defrag ulang. Banyak bagiannya yang telah usang
sehingga untuk mengingat hal-hal sepenting itu pun terasa begitu sulit untuk
dilakukan.
“Itu lho mas, bukunya
Ary Gia...?”
“Ary Ginanjar Agustian.
Yang ESQ itu?”
“Yah itu deh mas..”
dengan santainya duduk di tempat tidurku yang berwarna merah menyala dengan
pernak-pernik bola ala milanisti.
“Tapi sekarang di rumah
Cuma ada segini doang. Di rumah yang di Bandung ada lebih banyak. Ada dua
lemari lebih..”
“Wah, banyak banget
mas, mas suka baca ya…?”
“Ya gitu lah.”
“Sebulan bisa baca
berapa buku mas?” ucapnya pelan sembari melihat lihat isi ruangan kamarku.
“Wah nggak pasti wulan,
itu juga kalo lagi mood” pandanganku langsung mengarah ke wajah cerah hampir
sempurna untuk disebut sebagai bidadari. Mungkin kecanduan buku memang
keturunan dari keluarga Ibuku. Secara, dia keponakan dari garis keturunan ibu.
Beberapa dari silsilah keluarga ibuku memang terlihat overdosis kalau membaca
buku. Eh tunggu, ibuku sewaktu muda juga katanya secantik dia. Aku liat
foto-fotonya pun berdecak kagum bak melihat foto model yang tak terekspose
kamera wartawan.
“Kalau bulan ini sudah
selesai baca berapa buku mas…?”
“Bulan
ini..? hmm.. sekarang kan tanggal tua ya. Sejak tanggal satu udah ada empat
atau lima buku yang udah dibaca. Oh ya, empat, yang kelima ini masih setengah
jalan.” Sebutku sembari menunjuk ke arah buku tebal yang berada tepat di
samping tempatku duduk sedari tadi.
“Pengen
baca buku ni mas.. apa aja, yang menarik gitu.”
“Atau
kamu pengen baca yang ini..? monggo aja dibawa, lagian aku juga belum sempat
baca. Lagi sibuk ngolah data penelitian nih..”
“Hmmm.
Nggak deh mas. Takut ngganggu.”
“Atau
ke toko buku aja gimana?. Tek temenin..?”
“Katanya
mas lagi sibuk, lain kali aja nggak apa-apa.”
“Sibuk
si sibuk, tapi nggak segitunya juga kali. Maen, jalan-jalan jangan sampai
terlewatkan. Haha..” aku tertawa lepas melihat guratan keraguan dari wajahnya.
“Boleh
ni mas..?”
“Kita
berangkat sekarang yuk..!!!” aku mengangkat tubuhku yang sedari tadi merekat di
kursi kayu yang diberikan ayah pas kado ulang tahun ke-7 ku. “Ayo.. jadi nggak
nih, kok malah bengong.. aku ini udah seharian di depan komputer. Udah boring
banget nih pengen keluar.”
“Ayoo..
ayoo … tapi mas..?”
“Apa
lagi sih Wulan..!”
“Aku
nggak bawa duit.. hehe” senyumnya mengingatkanku pada adik perempuanku ketika
tersipu malu minta dibelikan ice cream. Setiap kali diajak jalan ke luar rumah
adikku pasti selalu merengek minta dibelikan ice cream. Walaupun ibuku
melarangnya tapi tetep aja aku nggak tega melihatnya.
“Hemmm.
Nanti Aku yang bayar deh.”
“Iya mas, beneran !!
ciyus lho…!!”
“Nah.
Lo.. mulai lagi alaynya.. iya.iya. tapi jangan banyak banyak. Seperlunya aja…”
“Cuhiu..
mas baik deh.” Wulan terlihat kegirangan. Menerjang tubuhku yang sedari tadi
berdiri di depan pintu. Tangannya melayang di pundaku. Tubuhku gemetar, aneh,
kagok, nggak jelas. Tangan halusnya bersentuhan dengan leherku. Terlalu halus
untuk tangan manusia. Dia beneran merangkulku.
Aku
merangkulnya kembali dan dengan santai kami menuju mobil sedari tadi pagi tak
tersentuh sedikitpun. Tak terbayangkan betapa kasihannya mobil itu seperti tak
dianggap oleh pemiliknya selama seharian ini. Seandainya mobil itu bisa bicara
mungkin dia sudah memaki-maki komputer di kamarku karena komputer telah
berselingkuh denganku.
Mobil
Jazz merah itu melesat perlahan dalam kehangatan persaudaraan dan teman.
Menembus bayangan yang sedang di pikirkan oleh Wulan.
“Hooy…
ngalamun aja…?” suara itu memecahkan lamunan yang sedari tadi telah menggunung
di atas ubun-ubunnya.
“Hehe..
sedang mikirin buku yang mau dibeli.. haha..”
“Yaelah,,
kagak usah dipikirin. Nanti di sana juga bingung ko. Saking banyaknya buku.
Kamu udah berapa kali ke sana?”
“Toko
buku yang ada di jalan Pemuda itu kan?”
“Iyalah,
mana lagi ada toko buku besar di sini.”
“Hmm,
dulu sih pernah dua kali, bareng temen-temen pas masih SMA mas.. kalo mas pasti
udah ratusan kali yahh…”
“Eeeeee..ts
lebay.. enak aja, emang aku ini cleaning service di sana, harus setiap hari
dateng kesana. Atau tukang nganter buku?”
“Hihihihi..
lucu-lucu lucu…” Wulan tertawa ringan seraya menutup sedikit mulutnya. Walaupun
tidak berniat bikin lelucon jadi lucu juga. Aku emang kalau di luar rumah terlalu
sering becanda. Maklum deh.
“Nggak
lah. Paling beberapa kali aja, buat ngecek buku-bukuku udah laku atau belum.
Hehe”
“Iya
deh, yang seleranya tinggi. Di sini nggak ada buku-buku yang mas suka.. kan?”
“Itu
tau .. tapi kadang-kadang ada ko beberapa yang bagus.”
“Pasti
mas beli lewat internet itu ya. Lewat Amajon itu kan..?”
“Amazooooooooooooonn….!!!
Dot Com.. dasar Sotoy..!”
“Boleh
lah sekali-kali. Kalo ngomong sama mas kan harus sengaja di plesetin. Kalau
bener-bener salah kan mas lebih ngerti. Pengetahuannya terlalu tinggi buat umur
mas sih… haha..”
“Udah
deh, nggak usah muji-muji gitu. Mentang-mentang mau dibeliin buku sekarang jadi
sok baik. Biasanya juga. Uuwhh..”
“Yeeeh
siapa yang muji. Ge Er… mas itu enaknya kalo diajak ke toko buku doang. Tau
semuanya tentang buku disana. Coba kalau diajak ke Mall. Pasti cupu banget
dah.. haha” wulan terus memanas manasiku.
“Wah.
Belum tau dia.. nanti kita ke Mall sekalian. Kita buktikan..!!”
Keponakan
ku ini memang paling gampang menggerakan hati seorang pria. Termasuk diriku
sendiri. Setelah belanja buku, benarlah kami langsung menuju ke Mall dan
ujung-ujungnya aku juga yang harus membayar makanan di KFC mall ujung lantai
paling atas.
Tapi
setidaknya hari itu membuatku lebih terasa hidup. Setelah bertahun-tahun
menjomblo baru kali ini jalan dengan perempuan cantik. Walaupun statusnya
sebagai keponakan. Tapi siapa peduli, buktinya orang-orang banyak yang terpana
dengan kami di Mall. Mungkin iri dengan kemesraan kami berdua. Saling merangkul
bak seorang pasangan kekasih. Meronta minta di belikan eskrim sampai bawain
belanjaan bukunya.
Mungkin
seandainya aku sudah punya pacar, dan pacarku tau itu pasti dia langsung
skakmat di tempat. Kalo nggak pingsan, mungkin juga langsung melempari tubuhku
dengan sepatu high heel yang dipakainya. Karena cemburu.
#Just Fictionem
Semarang, 21 Januari 2012
Badiuzzaman
Post Comment
3 komentar
haha..gara-gara buku :D
Yuhu,,, semua hal bisa jadi inspirasi...
ngayaaal mulu
EmoticonEmoticon