Siapa bilang melamar pekerjaan
itu sulit?. Informasi lowongan pekerjaan berserakan dimana-mana. Setiap hari
ada saja info lowongan pekerjaan di koran. Belum lagi yang ada di internet.
Makin bingung nggak tuh. Nah karena semakin menjamurnya lowongan disana sini
juga akan berdampak buruk. Membuat orang
pilih-pilih dalam menemukan pekerjaan. Alhasil. Susah kan dapet pekerjaan…
Haha, mungkin nglamar
kerja itu gampang tinggal bikin surat dan kirim. Tapi lolos kerjanya itu yang
ah… tak usah disebut.
Semakin tinggi jenjang
pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula daya puas akan pendapatan dan
kesempatan kerja. Seperti cerita kawanku berikut ini.
ᴥᴥ
ᴥᴥ ᴥᴥ ᴥᴥ ᴥᴥ ᴥᴥ
Terik matahari
menyentak-nyentak kulit ari, angin tak lagi berani menerpa wajahku. Panas tak
tertahankan menguapkan keringat hingga kering seketika. Namun keringat-keringat
lain bermunculan dengan cepat pula. Mungkin matahari sedang marah karena tak
adaa lagi yang menyembahnya seperti dulu. Tak ada lagi yang percaya tahayul
tentangnya. Atau mungkin marah karena manusia sudah menemukan bintang yang
lebih besar dari pada matahari.
Orang-orang
meninggalkan kantornya dengan tergesa-gesa. Di desak rasa lapar yang
menggebu-gebu dari dalam perut. Cacing dalam perut sudah melayangkan surat
protes tanda makan siang belum juga kanjung tiba. Orang-orang berdesakan
meminta pesanan kepada pramuwisma tempat makan itu.
Aku salah satu orang
yang berkerumun disana. Ingat, berkerumun. Bukan antre. Kata antre hanya
disebutkan untuk mendapatkan tiket dan untuk menanti sembako saja. Maklum sifat
kerimbaan manusia muncul kala perut sudah tak lagi mau bekerja sama. Itulah
indonesia, dengan kekhasannya yang membuat kita tak pernah lupa menyela dan
kadang memujinya.
“Hey mas… apa kabar?”
senyum lebar ku berikan kepadanya tanpa pandang bulu. Walaupun aku belum kenal
betul, boro-boro asal dan pekerjaannya, namanya saja saya nggak inget. Yang
jelas setauku dia salah satu jemaah Masjid deket kostku yang kala petang dan
subuh datang ke masjid sehingga mukanya menjadi begitu familiar bagiku.
“Hey. Alhamdulilah
baik..” Kami bersalaman seperti perkenalan tapi diantara kami tidak ada yang
menyebutkan nama. Kelihatannya dia terheran-heran melihatku. Aku menangkap
pikirannya. Siapa orang ini, perasaan
pernah lihat tapi ko ga inget ya. Mungkin aku terlihat SKSD alias sok kenal
sok dekat. Tapi tak apalah bisa jadi teman makan siang. Pikirku. Kebetulan dia
sendiri aku juga sendirian.
“Saya biasa mba, Makan
pake telur sama sop. Minum air putih.” Pramuwisma itu tersenyum tanda pelanggan
setia telah datang.
Pria itu mendahului
duduk di tempat biasa aku duduki. Meja kotak berwarna merah dengan dikelilingi
empat kursi bersenderan tinggi. Semua dari kayu. Kecuali piring dan sendok
tentunya. Eh gelas nya juga bukan dari kayu.
Senyumnya merekah
setelah saya dengan sengaja duduk di depan kursinya. Aku berusaha memulai
pembiacaraan, biar nggak garing. “Sibuk apa sekarang mas?” dia menatapku
seperti tatapan seorang teroris yang sedang diinterogasi oleh interpol.
“Ya, sibuk gini lah.
Kesana kemari nggak jelas..”
“Wisuda kapan mas?” Aku
asal tebak aja, soalnya kelihatan dari mukanya seperti mahasiswa tingkat akhir
banget, banget dan banget. Apalagi baru saja menjawab sibuk lantang-lantung
nggak jelas. Pasti ini mahasiswa kalau bukan lagi nunggu wisuda berarti lagi
nunggu panggilan lamaran pekerjaan.
“Wah saya sudah wisuda
sejak dulu. Sudah lama.”
“@#$@##$^!(???”
Wabakdu. Ternyata sudah wisuda lama. Saya harus mencoba menebak yang lain. Hmm
apa mungkin sedang bekerja atau melamar S2 ya. Aku coba nebak lagi ah. Siapa
tau bener.
“Oh. Gitu. Lagi nglamar
S2 atau gimana mas..?” aku menatap mukanya yang agak kepedesan makan sambal
dengan tumis di piringnya.
“Ko, tau… ya gitulahh,
diajak temen ndaftar S2, dosen juga nganjurin itu.” Wah tebakanku kali ini jitu
banget. Langsung pas di titik sasaran. Dia belum berhenti ngomong nih.
“Aku kan wisuda taun
lalu. Terus mbantu dosen ngajar di D3 FIB jurusan kepustakaan.” Berhenti sejenak,
makan dilanjutkan.
“Oh pantesan keliatan
udah beda. Terus S1 nya? Di FIB itu juga?” aku mengangkat sendok di tangan
kananku ingin menunjukkan hal yang dari baru saja diomongkan.
“Beda gimana, biasa aja
kali. Aku dulu itu D3 terus ngambil program lanjutan S1. Sama-sama jurusan
perpustakaan di Undip juga.” Sepertinya pria ini sudah mulai terpancing
berbicara denganku. Harus dimanfaatin nih biar bisa menguak lebih dalam
mengenai seluk beluknya. Bukannya bermaksud lain, tapi setidaknya aku kan bisa
mengambil pelajaran dari pengalamannya. Ya kan?
Aku menyelesaikan
kunyahan makanan dalam mulutku. “Hmm gitu, emang mas asli mana?” mencoba
mengalihkan pembicaraan lagi.
“Saya dari Tegal”
jawabnya singkat. Entah kenapa, jawaban itu terasa aneh. Seperti mengatakan
dengan terpaksa. Okelah, saya alihkan lagi ke yang pertama. Mungkin dia merasa
lebih nyaman dengan pembicaraan topik yang tadi.
“Kenapa ngak cari kerja
dulu baru lanjut ke S1?”
“Ya, tadinya juga mau
gitu, Cuma ya namanya nasib jadilah begini. Hehe..”
“Emmm. Sempat ndaftar
kerja mas?. Susah nggak ngaftar kerja?” pertanyaanku bertubi-tubi menembus
ruang batas waktu. Meninggalkan detikan
yang terlalu lambat. Melebihi kecepatan cahaya, yang katanya kecepatan paling
tinggi yang bisa dihitung oleh manusia.
“Dulu sempat ndaftar
kerja.” Berhenti sejenak, menghabiskan makanan yang sudah terlanjur terpatri di
dalam mulut. Sedikit minum air putih yang tersodok di depannya.
Kembali memulai
pembicaraan.”Jadi begini, nglamar kerja memang susah-susah gampang. Tapi
kebanyakan orang ngrasa susah karena cukup milih milih. Dulu aku juga sempet
gitu. Sempet diterima di perusahaan swasta tapi aku ngrasa kurang sreg dengan
gajinya. Dari pihak sana juga sempat menyayangkan aku masuk ke sana.”
“Lho ko menyayangkan,
maksudnya?” aku menyela secepat kereta sinkansen di Jepang.
“Jadi kan dari pihak
sana hanya bisa memberikan gaji sekian. Sementara tingkat pendidikanku terlalu
tinggi untuk posisi itu. Makanya mereka menyayangkan aku masuk kesana karena
mungkin saja kau bisa mendapakkan gaji yang lebih pantas dan sebanding dengan
pendidikanku.”
“Hmm, gitu. Tapi itu
yang dibutuhkan disana sarjana S1 kan?”
“Sebenarnya sih di
optionalnya S1 atau D3.”
“Terus diambil mas?”
rasa penasaranku telah mencapai puncak ubun-ubun.
“Ya nggaklah. Kalau aku
ambil aku sekarang sudah nggak disini?”
“Terus akhirnya
bagaimana?”
“Kejadianya belum ada
setahun. Waktu itu aku baru saja lulus S1 dan itu juga pengalaman nglamar
kerjaku yang pertama. Aku tetap mikir-mikir lah. Semoga sih dapet pekerjaan yang
lebih menjanjikan. Tapi lama juga aku nggak dapet lagi panggilan wawancara
kerja. Hingga dari dosenku ada yang menghubungi untuk mbantu ngajar di D3
Perpustakaan tempatku dulu dapet ijazah diploma.”
“Diambil?”
“Ya tek ambil lah,
itung-itung ngisi waktu luang. Niatku sih itu Cuma sebagai pengisi kekosongan
biar nggak nganggur. Tapi kebawa sampai sekarang. Ya enak ngak enak sih. Tapi
kan duitnya kecil apalagi dibayarnya setiap satu semester sekali. Apa nggak
kasian tuh…?”
“Haha..” aku
mengekspresikan keapresiasianku dengan ketawa kecil.
“Ya mungkin sudah
jalannya kali ya..”
“Nggak kepengen ndaftar
kemana lagi gitu?” aku berusaha memberikan suport agar dia terbangun lagi dan
tak lagi pasrah pada takdir.
“Owh ada tuh satu lagi.
Beberapa bulan lalu aku ndaftar di instansi kearsipan nasional. Aku berdua sama
temenku yang ndaftar. Pusatnya di Jakarta, tapi nanti akan ditempatkan di
kantor Cabang di Bali.”
“Wah enak dong mas..
sambir berlibur” gayaku sambil mengekspresikan sedang berilusi berada di pulau
Dewata itu.
“Enak sih sebenenya,
tapi sama ibuku nggak boleh. Malah katanya mendingan mondok di deket rumah aja
dari pada kerja di Bali. Kasian banget kan aku…?”
“Akhirnya gimana mas?”
kepalaku terangkat ke atas semakin ingin mendengarkan cerita selanjutnya.
“Ya terpaksa aku nurut
sama Ibu. Namanya orang tua kan jangan sampai melawan. Ya nggak?”
“Ya sih, tapi temen mas
yang satunya jadi ndaftar?” aku dibuatnya benar-benar penasaran.
“Jadi lah… sekarang
sudah kerja di Bali. Dan parahnya lagi begini. Selama seminggu dia bekerja di
kantor pusat di Jakarta, terus baru ditempatkan di Bali. Mungkin semacam
karantina kali ya. Dan baru kemaren-kemaren dia contak aku. Dia cerita katanya
dulu wawancara namaku ditanyakan. Karena ternyata yang ndaftar hanya dua orang.
Aku dan temenku itu. Katanya kalau waktu itu aku jadi berangkat wawancara pasti
bakal diterima bareng sama dia di sana. Tapi yah apa boleh buat. Dia juga
bilang ke pewawancaranya itu, kalau aku ada urusan penting jadi nggak bisa
ikut.”
“Yah mas… seharusnya
dulu ikut ya…”
“Ya namanya
nasib,mungkin juga memang sudah rezekinya..”
Tak terasa ternyata
obrolan kami telah panjang lebar entah kemana. Mungkin kalau diluruskan bisa sepanjang jembatan suramadu mungkin ya.
Ini kebiasaan yang membangun yang sering aku lakukan di kala makan siang.
Mungkin ini waktu terlama kedua setelah obrolanku dengan Pak Petrus yang
ternyata adalah dosen S2 di teknik Mesin. Beliau menceritakan negeri asalahnya
di Maluku yang serba melimpah sumberdaya ikannya..
ᴥᴥ
ᴥᴥ ᴥᴥ ᴥᴥ ᴥᴥ ᴥᴥ
Nah tu kan, ngobrol
bisa sebagai ajang penyaluran ilmu. Apalagi tentang lamaran pekerjaan yang
pastinya nanti kita kan mengalami hal itu. Bagaiman? Susah ngak nglamar kerja
itu? Asal berusaha dan berdoa pasti bisa mendapatkan yang terbaik. Eits,
kelupaan kita juga harus mempersiapkan semuanya sedini mungkin. Tak ada kata
terlalu dini untuk merencanakan atau terlalu cepat untuk memikirkan. Dan yang
pasti….
Ngobrol
is smart life style…!!
Semarang, 27 Januari 2013
Badiuzzaman
Post Comment
3 komentar
smakin tua smakin bingung ngelamar kerja..
eh ko curhat hihihi..
pendidikan di negara kita identik dengan selesai kuliah, melamar kerja. kenapa gak buat usaha sendiri saja? :)
Oh ya mas, ikutan GA-ku yah disini
Terimakasih mba Maya dan Mba Nathalia yang sudah berkunjung. Kata Pekerjaan memang misteri banget ya mba. Sulit untuk ditebak maunya gimana. tapi yang jelas kita harus tetap usaha dan ikhtiar.
Bener juga kata Mba Maya, sebagai mahasiswa/alumni mahasiswa harus bisa berfikir kreaif membuka lapangan pekerjaan. Harus disiapkan mental entrepreneur sedari sekarang. Eh, Writerpreneurs mungkin tepatnya buat kita para penggila tulisan.
Wah ada acara menarik keliatannya. Flash Fiction. Ikutan ah...
EmoticonEmoticon