Bukan sekedar Janji


            Udara begitu dingin menusuk tulang dan  batinku. Kepingan penasaran terus melayang jauh di atas kepala. Ingin ku berteriak dan segera pulang. Tapi apa daya. Tak kuasa aku melawan keadaan. Pagi ini tak lebih dari pagi yang lain. Namun kali ini terasa berbeda. Aku tak bisa meninggalkan tempat ini sendirian. Tanpa janji, mungkin aku sudah tiada. Tanpa dia mungkin aku sudah tak lagi disini.
            Mataku mulai kabur. Tanganku mulai gemetar. Jemariku mulai terasa kaku tak bernyawa. Andai ku bisa berlari. Aku akan berlari secepat mungkin ke arah timur. Berharap bisa bertemu sang surya lebih cepat. Menemukan kehangatan yang abadi di sana.
            Ku kumpulkan serpihan-serpihan nyawa yang masih tercecer di sekitar lantai tempatku tidur. Beralaskan lantai beratapkan langit. Tapi tak apa, demi dia aku akan lakukan apa saja selama tubuhku masih kuat melakukannya. Walaupun aku ragu kali ini aku kuat untuk menantinya lagi disini.
***
            Tubuhnya mendekat dibadanku. Hatinya riang. Banyak bercerita tapi tiba-tiba kepalanya jatuh di sandaran bahuku. Terlelap tanpa sadar. Aku tak berani tergerak sedikitpun. Tak ingin dia terbangun atau terganggu dari tidurnya.

            Batinku resah. Bukan hatinya yang di sini tapi raganya. Aku terkekeh dalam hati. Bukan karena aku kecewa tapi karena baru kali ini aku merasa begitu dekat dengannya. Sebelum ini aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Dari pojok ruangan ber-AC tempat kami menuntut ilmu. Orang bilang itu perguruan tinggi. Tapi aku rasa, itu hanya tempat untuk mencari setumpuk ijazah yang mungkin bisa ditebus dengan selembar cek kosong dan terserah akan diisi berapapun juga.
            Aku masih teringat sosok pria yang mengantarnya ke sini. Bukan mengantarkan untukku. Tapi untuk orang yang sedang berbaring di dalam ruang rawat inap itu. Bukan untuk bersamaku, tapi untuk bersamanya. Aku tak pernah mempermasalahkan hal yang demikian. Atas apapun, yang penting aku bisa bersamanya walau hanya beberapa saat. Pria itu terlihat  biasa, tapi tak biasa jika dia sudah bersama dengan orang yang aku cintai. Mungkin.
            Aku tak berharap banyak. Selama dia masih bisa tersenyum, tertawa dan bahagia. Maka aku pun ikut bahagia. Walau tidak dengan batinku. Dia tersenyum sebelum bersandar di tubuhku.
            “Red, ini mas Tomi yang saya ceritakan. Mas Tomi, ini Redi teman kuliahku.” tanpa ragu dia memperkenalkan aku dengan cowok itu. Mungkin aku ini hanya orang biasa di matanya. Tapi tidak dimata yang satunya. Aku melihat rasa penasaran denganku.
            Orang yang disebut mas Tomi olehnya kini mengulurkan tangan tanda perkenalan. Aku terdiam sejenak. Batinku bergolak. Kenapa harus dia. Kenapa dia yang kau pilih. Kenapa bukan aku. Semua mungkin sudah terlanjur, mungkin juga masih ada kesempatan. Atau mungkin pula dia ragu denganku karena aku pernah menjadi bagian hidup teman dekatnya. Entahlah.
            Orang itu menanti jabatan tanganku. Aku tersenyum tipis. “Aku Redi, teman sekampusnya Alya.”tak lama aku lepaskan tangannya. Alya menggeser tubuhnya mendekat denganku. “Oh ya, mas Redi. Aku titip pacarku ya. Dia mau nginap di sini katanya. Kamu juga mau nginap?”. Aku mengaggukan perlahan kepalaku. Sebenarnya mengiyakannya dengan suara lirih. Mungkin hanya aku yang tau itu.
            Pria itu mendekat ke Alya dan tangan mereka bersatu. Aku tak kuasa melihat itu semua. “Hati-hati ya sayang, jaga diri ya”. Diciumnya perlahan kening Alya disampingku. Keparat!!!. Kenapa kau lakukan semua itu di sampingku. Semua berlalu sangat cepat. Hingga dia bersandar di tubuhku. Entah karna mengantuk atau menyesal kepadaku.
            Ku tundukkan kepalaku perlahan. Mataku hendak berkaca-kaca. Tapi aku berusaha setegar mungkin. Aku telah berjanji akan menjaganya sampai besok pagi di sini. Walaupun tidur di lantai sekalipun. Malam ini serasa dia menjadi milikku seutuhnya. Tapi tak sedikitpun aku berani menyentuhnya. Aku hanya bisa terdiam dan memandangi wajahnya yang terlalu indah untuk ukuran manusia.
            Alya tidur di dalam ruang rawat inap. Menemani teman perempuan kami yang kebetulan terkena penyakit malaria. Aku dengan sabar menunggu di luar. Menanti jika ada yang diperlukan. Walau sabenarnya aku menanti Alya, tidak lebih. Tapi itu tak pernah aku ungkapkan.
            Aku terdiam di serambi rumah sakit seorang diri. Merenung. Menunggu pagi tiba. Namun jam 2 pagi tubuhku terasa tak kuasa berdiri. Mulutku tak kuasa bergeming. Udara dingin terus menusuk-nusuk tubuhku tampa belas kasih. Aku tertidur lemas di lantai putih tak beralas. Mungkin aku terlihat sok pemberani tidur di lantai yang sangat dingin ini. Tapi apa kata dia kalau aku harus pulang malam-malam dan menyerah di perjalanan. Aku harus kuat.
            Sebelum adzan subuh berkumandang, aku merasa  berada di dunia lain. Di dunia yang tampaknya tidak dikenal. Sepi, sunyi tak bersuara. Setelah aku tersadar ternyata aku tak kuasa menahan dinginnya malam ini. Tubuhku tak bisa bergerak.
            Terlihat beberapa orang berjalan melewatiku, tanpa suara. Tanpa kata. Ingin ku panggil dia agar mengangkatku ke atas ranjang dimanapun. Sebentar saja. Tapi sepertinya dia tak mendengar panggilanku.
            Mendadak tubuhku terasa begitu ringan. Seringan kapas. Mungkin aku akan terbang jika tertiup angin. Atau jika ditimbang mungkin aku sudah tak berdaging lagi. Hanya tulang berbungkus kulit. Aku bisa bangkit. Aku bisa berdiri. Tapi aku melihat ada seseorang lagi yang tidur di sampingku. Dia mengenakan pakaian yang sama persis denganku. Rambut dan sendal yang sama.
            Aku melihat mukanya membiru. Mulutnya terbuka sedikit. Tanpa gerakan. Ataukah dia sedang sakit. Ku coba bangunkan dia, siapa tau dia memang sedang kedinginan sepertiku. Tapi pupus sudah usahaku. Aku tak bisa berbuat apa apa.
***
            Rumah sakit itu menjadi begitu ramai. Puluhan orang berkerumun. Mengitari seorang pemuda yang tak lagi bernyawa. Di depan pintu  kamar rumah sakit.  Tidak ada satu orang pun yang tau dia kenapa. Malam tadi tak ada satu orang pun yang tau penyebabnya tetap disana.  Terlihat seorang gadis menangis di sampingnya. Sembari memegang buku kecil yang didapat dari saku kecil pria itu. Mungkin si Gadis baru tersadar bahwa pria ini begitu mencintainya hingga menggadaikan janji demi nyawa satu-satunya.

Semarang, 14 Januari 2013
Badiuzzaman 
Badiuzzaman
Badiuzzaman

Previous
Next Post »

Post Comment