Sabun Mandi


“Ceklek,” suara pintu kamar kostan terkunci rapat. Seseorang menyembul dari gelapnya malam. Ruang tamu ada banyak orang, termasuk aku. Sejak tahun baru kemaren, teman kami ini memang menjadi begitu lenting pulang pergi malam hari. Mungkin sedang kasmaran dengan seorang bidadari atau memang dia hanya ada waktu malam hari saja. Aku tak mengerti.
            “Jon, mau kemana. Malem-malem” Tegurku enak tak bercela.
            “Cuma mau ke Indomaret ko..” Jawabnya pelan.
            “Kirain mau apel malem-malem.” Aku terhendi sejenak. “Ohya, Jon. Mau nyari apa ke Indomaret. Nitip dong.” Ujarku, mungkin aku tak lagi perlu repot-repot keluar esok pagi buat pergi ke sana.
            “Cuma mau nitip sabun mandi ko, gak ada yang lain.” Lanjutku
            “Hmm. Kalau Cuma mau beli Sabun mandi kan bisa beli di warung depan. Ga usah jauh jauh kesana.” Joni melirik ke arahku.

            “Iya Ron, kalau kamu Cuma mau beli sabun mandi mendingan beli di depan aja. Sama aja ko.” Kata Genko yang sedang duduk di sampingku di depan televisi. Nonton acara favorit kami. Opera Van Java.
            “Ah, di warung depan mahal. Bedanya hampir lima ratus sendiri. Mendingan juga di Indomaret. Lebih murah.” Aku tetap bersikukuh dalam perdebatan dengan kakak-kakak angktatan ini.
            “Jelasin Ko…” Ucap Joni dengan melirik kearah Genko. Aku terdiam. Mungkinkah mereka sedang berkonspirasi. Atau sedang merencanakan sesuatu. Atau mungkin pula mereka sudah pernah membicarakan hal yang seperti ini sebelumnya.
            Kebingungan terus terbang mengitari kepalaku. Mereka terus saling memandang selama beberapa saat. Apa yang sedang mereka pikirkan. Orang-orang ini memang paling senior diantara semua prnghuni kost. Mungkin memang benar, banyak hal yang tidak aku mengerti dan perlu belajar banyak dari mereka. Biasanya mereka langsung menjelaskan apa yang mereka maksudkan. Tapi kali ini aneh.
            “Kenapa emang?” aku dibuat penasaran yang begitu besar.
            Genko hanya tersenyum melihatku. Sepertinya ada setumpuk penjelasan yang mungkin tak bakal selesai dijelaskan dalam satu buku diktat mata kuliah. Tiba-tiba Joni keluar pintu rumah tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
            “Gini Ron.” Genko memandang ke arahku dan sepertinya hendak menjelaskan sebuah hal yang rahasia atau apapun. Itu
            “Dari awal Kita menetap di sini. Aku, Joni, Akmal, Redi dan semuanya itu sepakat kalau beli keperluan yang bisa di dapat di warung depan, Warungnya bu Kustiyah. Harus beli di sana. Kami kasihan dengan pemilik warung itu. Sebelum banyak minimarket bertebaran di sini warungnya banyak pembeli. Tapi sekarang hampir setiap sepuluh meter ada mini market. Semua orang berlomba-lomba  membeli di minimarket itu. Entah karena gengsi atau memang  harganya lebih murah. Tapi yang jelas jon, kita sebagai masyarakat yang mengerti harus bisa membantu menghidupkan usaha kecil seperti bu Kustiyah. Kalau bukan kita yang menghidupkan siapa lagi.”
            “Iya juga ya…” aku mengangguk sedikit tanda sepakat.
            “Sekarang begini Ron..” Lanjut Genko sambil membenarkan posisi duduknya. “hmm Sebelumnya kita sama-sama belajar ya, aku bukan bermaksud menggurui..” tangan Genko mengacu ke arahku dan ke mukanya bergantian.
            “Oh ya mas, aku seneng kalo bisa dapat ilmu baru” Ujarku pelan
            “Soal murah atau mahal, mungkin tak terlalu berarti kan buat kita. Tapi buat mereka sangat berarti karena diakumulasikan sebagai keuntungan mereka. Mungkin di minimarket itu harganya bisa lebih murah karena produk yang mereka tawarkan lebih banyak sehingga akumulasi keuntungan lebih tinggi. Walaupun dengan selisih harga yang rendah. Tapi di warungnya bu Kustiyah, hanya menjual barang-barang tertentu saja. Memang tidak lengkap, karena modal mereka terbatas. Manajemen mereka juga masih tradisional. Untuk menambah keuntungannya mereka terpaksa mempertinggi harga jualnya. Begitu jon..”
            Aku terdiam sekenak dan Joni melihatku dengan senyuman tipis. Senyuman itu mengingatkanku pada guru SMA dulu ketika selesai mengajarkan materi paling sulit untuk ujian nasional. Sedikit hatiku tergolak. Tapi sepertinya perkataan mas Genko juga ada benarnya.
            “Bener juga ya mas, kita harus menghidupkan usaha kecil masyarakat. Tapi kan kalau dibiarkan terus menerus mereka gak bisa berkembang. Hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka saja, terus setelah itu sudah. Tak ada lagi” ucapku sedikit pembelaan.
            “Nah, memang kadang itu yang menjadi tujuan mereka. Hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari saja. Salah satu tugas kita itu. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Makanya mulai sekarang tak boleh lagi ada orang yang putus sekolah. Karna itu membuat pemikiran mereka. Maaf ya. Pendek.” Jelasnya panjang.
            Aku mengernyitkan dahi. “Oh dasar Indonesia…” aku kini mendapat pemahaman baru yang di luar pemikiranku. Terimakasih mas Genko. Aku hanya bisa memberikan senyuman untuknya. Memang benar, pembicaraan seperti ini penting untuk menemukan wawasan baru yang berada di luar jangkauan pemikiran kita.
            Tiba tiba mas Genko tertawa latah.
            “Kenapa mas.?” Aku terperanjat bingung.
            “Tadi itu, mas Joni bukan mau ke Indomaret betulan. Tapi mau pergi ke tempat ceweknya. Indomaret itu  hanya kode untuk menyatakan itu. Ceritanya panjang. Dulu itu mas Joni sempet naksir sama penjaga kasir Indomaret. Orangnya cantik. Dan Gitu deh…”
            “Mas Joni Dulu jadi sering ke Indomaret…?” tebakku asal.
            “Setiap hari..” ceplosnya.
            “Haha…” tawa dan canda larut didampingi acara TV Favorit kami.

Semarang, 16 Januari 2012
Badiuzzaman
Badiuzzaman
Badiuzzaman

Previous
Next Post »

Post Comment