
Judul : The Compass
Penulis : Tommy Kling & John Spencer
Ellis
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :
Pertama, April 2010
Tebal :
209 halaman
ISBN : 978-979-22-5628-4
Hal
kedua saya lihat selain judul adalah komentar dari pembacanya. Salah satunya
dari Om Brian Tracy, penulis buku ternama. Beliau berkomentar “ The Compass
akan membawa anda dari posisi anda saat ini ke tujuan yang memang telah
dirancang untuk anda capai. Buku ini akan membantu anda meraih target-target
dan impian-impian anda”. Saya memandangnya itu komentar yang berlebihan. Bahkan
sempat berfikir ini buku fiksi atau buku motivasi.
Pantas
saja, setelah membaca isinya memang lebih banyak memberikan semangat hidup
dalam mengadapi masalah. Tuntunan itu dituangkan dalam sebuah cerita yang cukup
unik dan membakar pula. Saya tidak membaca langsung tulisan dari Tammy Kling, tapi setidaknya saya mengerti apa yang
hendak disampaikan. Melalui alih bahasa oleh Rani R Murdiartha saya bisa
menemukan beberapa inti yang akan disampaikan oleh Tommy Kiling. Tapi saya akui
terjemahan dai Rani ini berbeda dengan terjemahan yang lain, diksi yang
digunakan lugas dan tidak membuatku susah-susah buka kamus lagi.
Sebagai
salah satu Genre bertajuk non-fiksi, the
compass ini menawarkan solusi
pengembangan diri yang patut untuk dipertimbangkan. Awalnya saya mengira ini
hanya buku-buku motivasi yang didalamnya diselipkan cerita-cerita singkat yang
menggugah. Seperti halnya tulisannya Dr. Vincent Peale yang terpatri dengan Positive thingking nya. Tapi ternyata ini berbeda. Acuan utama dalam buku
ini berdasarkan cerita. Benar-benar kebalikan dari buku motivasi pada umumnya.
Biasanya kata-kata indah baru diselingi cerita tapi The Compass punya cara
lain. Carita diselingi kata-kata motivasi.
Menceritakan
tentang tokoh bernama Jonathan. Meninggalkan kehidupannya yang mapan di daerah
pinggiran kota menyusul tragedi yang mengubah rencana-rencananya di masa depan.
Di tengah kepedihan, kehancuran, kedukaan, penyesalan dan keputus asaan ia
mencoba untuk menyelaraskan kompas batinnya. Meninggalkan semua yang ia punya.
Rasa bersalah terlanjur menutup pikiran rasionalnya. Kehancuran rumah tangga
sudah di depan mata. Semuanya telah menjadi puing-puing tak terselamatkan.
Jonathan
melakukan perjalanan ke belahan dunia lain. Tak ada tujuan. Tak ada keinginan.
Hanya mengikuti hati melangkah. Mengikuti semua yang terjadi kemanapun dia
melangkah. Di tengah perjalanan ini, dia menemukan banyak pelajaran
berharga yang diberikan oleh orang-orang
yang baru dia kenal. Baru dia temui saat itu. Mulai dari bertemu dengan orang
berusia ratusan tahun yang terjebak di tubuh seorang anak belasan tahun. Itu
yang ia pikirkan setelah bertemu dengan Salomo. Sampai dengan tidak sengaja
mengikuti dunia persepedaan dengan para ahli bersepeda.
Semua
berjalan begitu saja. Jonathan hanya mengenal kebetulan belaka. Dengan penyakit
batin yang tak kunjung Padam. Perjalanan
kali ini menjadi perjalanan batin yang paling berharga bagi hidupnya.
Meninggalkan istri yang sedang berbaring koma di rumah sakit karena ulahnya.
Meninggalkan anak yang sudah tak bernyawa, mungkin pula karena ulahnya.
Epilog
dari cerita ini benar-benar kena untuk para pembaca awam sepertiku. Memberikan
pembelajaran untuk menjalani hidup lebih baik. Mereka bilang, kita semua
terhubung dengan cinta, penderitaan dan kadang-kadang bahkan oleh tragedi atau
peristiwa yang tidak dapat kita kontrol. Setiap orang meniti perjalanan unik,
namun tetap terhubungkan oleh berbagai pengalaman dan emosi. Di dalam
keterhubungan itulah terdapat kehidupan.
Overall, semua memberikan gambaran
motivasi yang tak muluk-muluk tapi kena pada titik yang dituju. Tapi tentunya
ada yang kurang sependapat dengan budaya timur yang jauh berbeda dengan budaya
barat. Mulai dari minuman berat sampai
gelamor yang berlebihan. Tapi semua itu kembali lagi ke pembaca, harus bisa
menyaring dan memilih hal-hal yang perlu saja.
Semarang, 17 Januari 2013
Badiuzzaman
Post Comment
EmoticonEmoticon