Aku telah dewasa


“Kamu ini dari mana aja? sudah malem gini baru pulang..!!!” seorang ibu dengan gerangnya meraung di depan pintu rumah megah di kawasan Perumahan Pliut, Jakarta. Malam terlalu larut untuk berbincang. Bintang telah terbangun hendak berjaga malam itu. Bulan telah siap dengan tato nini thowok yang selalu duduk termenung dan dirindukan kunyuk. Kunang-kunang telah berani bermunculan walaupun kalah terang dengan lampu-lampu taman yang berpatroli setiap petang menjelang.
Detak jam malam tak pernah luput sedetikpun dari telinga seorang Bunda. Seorang yang telah menjadikan diri sebagai orang yang bertanggung jawab atas rumah itu. Seorang yang disebut singgle parrent, setelah suaminya meninggalkannya tanpa sebab. Setelah harapan dan asa melayang tanpa alasan. Setelah Jari jemari membentuk tanda silang diantara mereka. Tak lagi bisa dikata atau diharap. Nasi telah menjadi bubur. Kini bubur itu terancam akan basi di atas mangkoknya yang telah termakan usia.
Kulitnya yang telah bermunculan garis-garis kerut pertanda ajal telah menunggu. Rambutnya yang kini tak lagi tumbuh dengan lebat. Matanya tak lagi melihat dengan tajam. Telapak tangannya yang mulai mengeras karena siang dan malam digunakannya untuk mengais rezeki. Bibirnya yang tak lagi merah karena tiap hari digosok dengan batang berwarna warni dan kopi yang menemaninya setiap malam menjelang.
“Kalisa kan sudah dewasa ma..!! Kalisa bukan anak kecil lagi!!”
“Tapi kamu....” omongan Bunda terhenti setelah kalisa membanting sepatu hak tingginya ke lantai. Menyeruak masuk ke dalam hati ibunya. Memecahkan keheningan malam hinngga semua penghuni malam terhenyak dalam gelap. Menyayat hari ibunya hingga terkuak cairan kasih sayang dari dalamnya.
“Ibu gak usah ngatur-ngatur Kalisa lagi, Kalisa udah capek”.

Gadis belia itu berlari telanjang kaki menuju kamarnya. Berhadapan dengan tabir kasih sayang yang telah retak termakan tingkahnya. Melawan segala rasa yang terus menimbun dirinya dalam rasa salah yang tak berujung. Tak lagi ada yang perlu dilakukan kecuali mencoba menutup mata sejenak dia atas kasur empuk yang menawarkan ketenangan.
Ibunda tertegun melihat tingkah anaknya yang berubah. Tidak lagi memperhatikannya ketika sakit. Tak pernah menanyakan lagi ada kerjaan kantor atau tidak. Tak pernah mengajak  bercanda dan menceritakan semua kegiatannya di kampus. Tak pernah bicara soal lelaki yang sedang mengincarnya dan kegalauannya akan menerima lelaki itu menjadi pacarnya atau tidak. Tak pernah lagi mengajaknya lari pagi di taman ditemani anjing kesayangannya Chiko. Tak lagi ngajak nonton bareng di bioskop dengan film-film anak muda yang menurutnya menarik. Tapi dia tak pernah sadar kalau ibunya sama sekali tidak suka. Sama sekali tidak ingin nonton, tapi demi anaknya bahagia ia lakukan itu semua tanpa keluh.
Kala akhir pekan menjelang, Kalisa selalu asik dengan teman-temanya. Jalan-jalan kesana kemari. Memburu barang-barang yang tak dibutuhkannya di mall-mall besar. Mencari kesenangan dengan memiliki sesuatu. Memburu tas baru, sepatu baru dan semuanya yang dia lihat di Mall. Sekali, dua kali dipakai dan seterusnya sudah ada yang baru lagi. Sementara yang lama terkubur kaku di dalam lemari kamarnya. Menunggu rayap dan kecoa mencoba-coba sepatu itu. Mungkin cocok atau tidak mereka gunakan.
Tak lagi ada waktu untuk ibunya. Malam hari menjelang Kalisa baru pulang dari kampus. Entah benar dari kampus atau kluyuran hingga bosan. Menarik panjang semua saraf kebahagiaannya di luar rumah. Hingga di rumah hanya bisa tertidur dan marah tanpa sebab.
Sejak malam itu Bunda tak pernah lagi mengajaknya bicara. Tak pernah lagi memarahinya jika pulang malam. Tak pernah menegurnya jika bangun kesiangan. Tak pernah lagi membuatkan teh dan sarapan pagi sebelum berangkat ke kampus.
Sebelum Kalisa pulang larut malam, bunda telah tertidur pulas di dalam kamarnya yang terkunci rapat. Sebelum Kalisa terbangun dari tidurnya, Bunda telah beranjak menuju kantor dan kesibukan di Kantor yang telah menunggu tangan terampilnya bertindak. Sebelum Kalisa berangkat jalan-jalan dengan teman-temannya Bunda telah lebih dulu berangkat Arisan bersama ibu-ibu kompleks yang baru. Sebelum Kalisa meminta uang untuk berbelanja, Ibunya telah mentransfer uang sakunya lebih.
Semua kebiasaan berpola itu terus berlangsung hingga hampir satu tahun lamanya. Hingga suatu ketika Semua telah berhenti seketika.
“Kalisa, kamu kan pacar aku sekarang. Nah Besok kan ulang tahunmu, kamu mau kado apa?” Roy memegag pergelangan tangan Kalisa dengan erat dan penuh kasih sayang. Kayanya.
“Aku pengen, kita pergi ke suatu tempat yang indah. Yang belum pernah dikunjungi oleh seseorang pun di dunia ini.” Wajah Kalisa mengarah langit yang hitam kelam dipenuhi oleh bintang yang  bertebaran tanpa alasan. Tanpa awan, tanpa mendung. Tanpa asap.
“Hmm.. Yasudah, Besok pagi aku jemput kamu jam 8 pagi yaa..?”
“Kenapa harus pagi-pagi banget?”
“Soalnya agak jauh dari sini sayang, biar gak kemaleman.”
“Okelah. Tapi besok pagi kamu telpon aku dulu biar siap-siap.
Senyum di Wajah Roy mulai merekah bak bunga tulip yang tak pernah berani membuka kelopaknya lebar-lebar
.⃰⃰ .     . ⃰    ⃰
Bunda tak bisa tidur malam itu. Tak ingin memikirkan anaknya yang merasa dirinya sudah dewasa. Padahal, jika seseorang merasa dirinya sudah dewasa dan tidak mau lagi diperhatikan orang lain itu justru dia belum dewasa. Dewasa itu ketika dia bisa menyikapi semua keadaan dengan lebih bijak. Dewasa itu ketika dia bisa memahami semua keadaan dalam hidupnya dan tak pernah lagi harus berkata “Saya sudah dewasa, saya sudah dewasa..!!”. Dewasa itu jika dirinya telah mengerti apa yang baik dan buruk atas nama logika dan perasaan. Tidak hanya perasaan yang mengendalikan amarah dan perbuatanya.
Seperti halnya ketika saya melihat salah satu talk show yang ada di Televisi. Menghadirkan seorang pemuda yang hendak mencalonkan diri sebagai Presiden. Dia berkata. “Kalau pemuda tidak memilih saya sebagai Presiden RI, berarti dia tidak pernah ingin kepemimpinan pemuda maju. Berarti pula pesimis bahwa pemuda dapat mengubah negri ini mejadi lebih baik. …… Jadi pilihlah kami para pemuda untuk menjadi generasi penerus.” Sejak kapan peraturan itu dilontarkan bahwa kawula muda harus memilih pemuda. Sejak kapan pula ada ketentuan kalau pemuda gak memilih dia berarti pemuda tidak optimis pada masa depan bangsa. Saya kira perkataan itu menunjukkan bahwa dia belum matang dalam segi kepemimpinan. Apalagi ketika dia mengatakan bahwa dia sedang didzalimi oleh golongan X, Y dan Z. semua dia sebutkan dengan gamblang. Seseorang yang menyebutkan dirinya sedang di fitnah oleh si fulan berarti dia belum bisa berfikir dewasa dan  bijaksana.
Bijaksana itu ketika kita semakin sedikit perkataan negatif dan semakin banyak berpikir positif.
.⃰⃰ .     . ⃰    ⃰
Esok paginya Bunda terbangun tanpa kehadiran anaknya. Kamar itu kosong tak berisi. Tak ada pesan. Tak ada kabar. Terus ia mencoba untuk menghubunginya dan teleponnya selalu mailbox.
Dilihatnya Headline surat kabar yang tergeletak di depan pintu rumahnya. Disitu tertulis “KORBAN PEMERKOSAAN PACAR DAN KAWANNYA DIBUANG KE SUNGAI” . Dibacanya terus berita itu dan diketahui korbannya bernama Kalisa. Ibunya jatuh tersungkur di lantai kamarnya hingga beberapa menit kemudian polisi datang untuk memberitahukan kondisi mayat anaknya. Namun Bunda tak lagi bergerak, telah tiada untuk selamanya.

Semarang. 24 Januari 2013
Badiuzzaman
Badiuzzaman
Badiuzzaman

Previous
Next Post »

Post Comment

2 komentar

Badiuzzaman
AUTHOR
February 7, 2013 at 7:42 AM Reply Delete Delete

Kadang emang hidup itu sebenarnya lebih menyedihkan dari pada yang kita duga, tapi itulah ujian yang menjadikan kita lebih kuat.

avatar