Langit senja terus mengikuti
langkahku sampai di gapura masuk desa. Sudah bertahun-tahun lamanya aku tak
kembali di kampung halamanku ini. Kampung yang membesarkan aku hingga kini bisa
kuliah di Perguruan tinggi yang bergengsi dan membanggakan. Mungkin akulah
satu-satunya orang yang paling beruntung diantara semua pemuda desa, karena aku
dapat mengenyam pendidikan jauh lebih tinggi dari pada teman-temanku yang
sebaya lainnya.
Angkutan desa mulai memasuki
kawasan yang tak lagi asing di penglihatanku. Kini pepohonan yang lama aku tak
lihat seolah melambai gembira melihat kedatanganku kembali ke desa ini.
Beberapa orang yang duduk bersama dalam angkutan kecil mungil ini seolah tak
lagi kenal siapa diriku. Aku terasingkan di negeri sendiri. Padahal dulu ketika
aku lulus dari SMA dengan predikat memuaskan hampir semua kenal aku dan
mengelu-elukan diriku. Dalam hati aku tak ingin bersuara dengan siapapun
sebelum aku bertemu dengan kedua orang tuaku.
Angkot kuning terus melaju
menerobos suasana desa yang pasti ramai ketika senja mendekat. Aku teringat
masa kecil dulu. Aku salah satu anak desa yang paling gila bola. Setiap kali
ada bola menggelintir di padang rerumputan lapangan yang tak jauh dari rumahku.
Serasa kakiku gemetar dan ingin segera menendang serta menggiringnya menembus
gawang dimanapun. Tapi itu dulu, sekarang tak ada lagi kemauan menyentuh
sedikitpun bola bundar itu semenjak tulang kakiku retak akibat jatuh dari
sepeda motor.
Tiba-tiba duduk disampingku
seorang gadis belia, mungkin seumuran denganku. Berkerudung abu-abu, mengenakan
pakaian tertutup, rapi dan terkesan sangat sopan. Aku terus melihatnya penuh
selidik. Siapa gerangan dia sebenarnya. Aku ngrasa pernah ketemu dengannya
sebelumnya tapi dimana. Berkali-kali ku putar otak untuk mengingatnya, tapi tak
ada satu kata pun yang tercoret di dinding ingatanku.
“Mas Ihsan,…?” mendadak suara lembut si
perempuan misterius menyebut namaku.
“Iya, dengan siapa ya?” alisku menyatu seolah
ingin beradu saling menebak siapa namanya. Terus ku coba mengingat lagi tapi
tak pernah bisa ku dapatkan namanya di ingatanku.
“Mas, Ihsan ketua OSIS dulu kan?, Akhi kan juga
Wakil ketua Rohis kan…?” ucapannya semakin membuat penasaran.
“Wah ko kamu tau banyak tentangku? Kita pernah
ketemu dimana ya?”
“Ini saya, Fitriana. Adik kelas akhi dulu pas
waktu SMA. Udah inget belum?” matanya memandangku seolah berharap aku
mengingatnya dengan pasti. Tapi sayang aku benar-benar tak mengingatnya.
“Hmm,,” aku tak bisa berucap apa-apa hingga
hening beberapa saat.
“Dulu anti ikut Rohis.?” Tanyaku singkat.
“Ya, ane yang jadi bendahara setelah Mas Ihsan selesai masa jabatan dari rohis.”
“Oh ya ane inget”…
Tiba-tiba semua ingatanku
kembali dengan sempurna. Dulu aku pernah diceritakan oleh salah satu temen
Rohis yang mengatakan kalau ada akhwat yang suka sama aku. Dia namanya Fitri,
dulunya tidak pakai kerudung, semenjak tau kalau aku ada di Rohis dia langsung
ikut Rohis dan memakai kerudung. Walaupun awalnya hanya iseng untuk mencari
perhatianku akhirnya karena terbawa pergaulan anak rohis dia benar-benar bisa
meluruskan niat. Bahkan sekarang sudah menjadi aktivis dakwah di pondok
pesantren tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Subhanalloh, dia kini sudah menjadi muslimah
yang menjadi idaman para Ikhwan. Aku tak tau harus berkata apa, semenjak
pertemuan di angkutan itu aku tak bisa melupakan bayangan wajahnya yang terus
menghantui pikiranku. Semoga Alloh memberikan Pendamping hidup yang memiliki
hati suci seperti dirinya. Amin.
Post Comment
2 komentar
lho, ceritanya singkat aja, dek?
hihi..
belum nampak ada konfliknya, tuh :)
ayo, nulis kelanjutannya lagii...
Iya mba, lagi ada masalah yang lumayan gedhe..
jadi lagi agak kurang mood..
insy sekarang sudah agak baikan...
semangat menulis untuk berbagi inspirasi,
EmoticonEmoticon