Ombak-ombak kecil mulai menerpa perahu kecilku.
Berusaha untuk menggoyahkannya tanpa letih. Entah mereka ingin bermain ataukah
ingin mengusirku karena setiap hari aku
mencuri ikan-ikan dari mereka. Ratusan bahkan ribuan ikan yang setiap harinya
tersangkut di jaringku. Semuanya demi sesuap nasi untuk anak dan istriku.
Sebenarnya aku tak sampai hati untuk menangkapnya hidup-hidup untuk keegoisanku
sendiri. Apa salahnya mengambil sedikit dari sangat banyaknya ikan yang ada
didunia. Toh tidak terlalu berpengaruh dengan alam. Dibandingkan dengan
kapal-kapal besar yang melanglang buana ribuan mill di tengah laut dan
menangkaap ratusan bahkan ribuan ton ikan.
Ku lihat jauh ke arah daratan. Puluhan bangunan
kokoh menjulang tinggi seolah menantang tingginya langit biru itu. Beberapa
pepohonan yang tersisa pun merasa iri pada ketinggian bangunan-bangunan
pencakar langit itu. Namun mereka tak bisa apa-apa. Hanya menunggu pemilik
tanah mereka yang menebang tanpa belas kasih. Pohon itu hampir sama nasibnya
denganku, hidup menderita dengan udara seadanya dan polusi yang menggigit
daun-daun hijau mereka. Burung-burung pencari ikan tak pernah menyerah untuk
mencari sisa-sisa ikan kecil yang tak lagi tersangkut jaring nelayan. Mereka berebut
dengan nelayan sepertiku.
Hidupku pas-pasan. Hasil tangkapan ikan hanya
mampu untuk membeli makan sehari dan sedikitnya bisa dikumpulkan untuk membeli
pakaian anak dan istriku. Sebagian dari hasil tangkapanku untuk dikonsumsi
keluarga. Itu juga kalau sisa. Kalau tidak kami terpaksa makan dengan nasi
krupuk ditambah garam atau sambal agar terasa di lidah. Semua itu harus
disyukuri sebagai nikmat dari sang Maha Kuasa.
Perahu tua peninggalan ayahku masih terus aku
gunakan hingga kini. Bukan karena aku terlalu sayang untuk membuang perahu ini.
Tapi aku tak cukup materi untuk mendapatkan perahu yang lebih baik dari ini. Hidupku
memang pas-pasan untuk keperluan sehari-hari saja terkadang harus hutang ke
tetangga. Apalagi ketika gelombang naik. Tak ada yang bisa aku upayakan kecuali
hanya menunggu dan menunggu. Aku hanya bisa memperbaiki perahu sedikit-demi
sedikit. Menambal satu demi satu lubang yang muncul karena termakan usia.
Asalkan perahu ini masih bisa terapung di air, aku masih tetap menggunakannya.
Walaupun terkadang berbahaya jika badai datang. Dalam hati aku takut jika
sewaktu-waktu kapal katu yang aku tunggangi ini terhantam ombak dan remuk
berkeping-keping.
“Pak, jaringnya sudah bisa diangkat?” suara
kecil mendadak memecahkan lamunanku yang teramat panjang.
Ya. Suara itu adalah suara anak pertamaku yang
baru saja satu bulan yang lalu lulus dari SMP. Untuk membayar sekolahnya waktu
dulu saja aku sudah menggunungkan utang yang belum terbayar hingga hari ini.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana masa depannya kelak jika dia tak bisa
melanjutkan lagi ke jenjang SMA. Aku hanya seorang nelayan, SD pun tak pernah
selesai. Hanya pekerjaan ini yang bisa aku lakukan.
“Pak, jaringnya gimana?” suara anaku lebih
keras.
“Iya, tarik Rul..” aku baru menyaut untuk
menarik jaring Trowl bersama-sama. Walaupun sebenarnya aku bisa menarik
sendirian tapi aku ingin mengajari anakku arti sebuah kerja keras yang
sesungguhnya. Walaupun aku tak mahir dalam mengajar ataupun teori di kelas,
tapi aku ingin memberikan segalanya untuk penerus keluargaku nanti.
Sudah dua minggu anakku ikut aku melaut terus
sampai-sampai kulitnya sekarang sudah terlihat begitu gelap seperti bapaknya.
Seandainya aku bisa menghalangi sinar matahari yang membakar kulit anakku,
mungkin aku akan menggadaikan apapun untuk bisa mendapatkannya. Sebenarnya aku
tak tega melihat anaku bersusah payah ikut melaut, sementara teman-teman
sebayanya yang lain sedang asik-asiknya liburan sekolah dan mungkin saat ini
sedang merencanakan membeli baju baru, tas baru, dan buku baru untuk menghadapi
masa SMA nanti. Sementara anaku hanya bisa terdiam duduk di perahu butut yang
menjadi harta satu-satunya milik keluarga.
Matahari terlihat sudah terlalu bosan menemani
kami sepanjang hari. Saat ini ia akan segera kembali ke peraduannya. Seandainya
aku bisa menunda kepergian matahari mungkin aku akan menunda terus sampai hasil
tangkapanku cukup untuk membeli makanan satu hari ini. Namun sayang hari ini aku
tak seberuntung hari-hari yang lalu. Ikan yang kami dapatkan sepertinya hanya
cukup untuk makan keluarga saja. Jika tidak ada ikan yang dijual berarti tak
ada penghasilan hari ini.
Senja mulai datang. Waktu pulang sudah di depan
mata. Seandainya aku tak bersama anakku, mungkin saja aku tak akan pulang
sampai choldboxku terisi penuh dengan
ikan. Namun aku tak tega melihat wajah lelah anakku ini. Mendadak awan menjadi
gelap. Angin merenung dan tak lagi menampakan kesegarannya. Hari ini terasa
beda dengan yang lain. Sudah puluhan tahun aku berlayar dengan perahu kecilku
ini. Tak ada yang membuatku khawatir walaupun badai yang menghadang. Tapi kali
ini berbeda, aku bersama dengan anak kesayanganku. Aku tak mau anaku ini
terluka karena badai atau apapun itu.
Air mulai berjatuhan dari langit. Sedikit demi
sedikit. Payung kapal yang terbuat dari tenda pun mulai aku turunkan agar kami
tak kebasahan. Perahu kami hentikan sejenak dan mesin kapal kami tutup dengan
sorban penyelamat agar tak rusak kena hujan. Sejam lamanya kami menunggu hujan
ternyata tak ada tanda-tanda akan reda. Sebelum malam menjadi terlalu gelap
terpaksa aku putuskan untuk kembali menyalakan layar dan mesin untuk segera
mendarat. Namun sayang mesin perahuku tak lagi berfungsi. Hujan mulai bertambah
lebat.
“Ayah, kita mau nunggu atau pulang? Pulang aja
yah, udah dingin”
“Iya Rul, kita pulang sekarang, tapi mesinnya
udah mati.” Ucapku bersalah
“terus, gimana?”
“Ayah perbaiki dulu”
Hujan bertambah lebat, petir menyambar di
setiap ujung laut. Anaku ketakutan. Walaupun petir dan hujan bagiku sudah biasa
namun yang paling aku kawatirkan hanyalah keselamatan anakku.
“Duaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaar…………..!!!”
Tiba-tiba pancaran kilat begitu terang membuat
mataku tak bisa melihat dalam sekejap. Perahuku terhentak tak berdaya dan aku
merasa ada air masuk di perahuku. Setelah beberapa saat aku bisa kembali
melihat dengan jelas. Ternyata perahuku kena petir.
“anaku, anaku,….. Aruuuuulll….Arul …!!!”
“Kamu dimana?”
Aku tak melihat anaku, Arul. Aku terus
mencarinya. Separo perahuku patah dan air terus mendobrak masuk ke dalam
perahu. Namun aku tak menghiraukan itu. Yang penting anaku selamat. Tapi dimana
dia?.
Tanpa berpikir panjang, aku terjun ke dalam air
dan mencari-cari anaku. Tak sadar aku terlalu lemas untuk mencari anaku yang
hilang. Pikiranku melayang. Melihat kilatan putih kembali menyala. Tak ada
kesadaran dalam kepalaku. Mataku tak lagi melihat dunia. Keesokan harinya aku
membuka mata dan berada di tengah hamparan pasir putih pulau panjang. Tanpa
anaku, tanpa perahuku. Aku terdampar dan semua yang kumiliki telah tiada.
Post Comment
EmoticonEmoticon