Ilustrasi pengemis |
Setiap kali melihat pengemis
saya pasti selalu teringat dengan perkataan salah seorang dosen yang lumayan
dekat dengan saya. Sebut saja beliau pak Taufik. Salah seorang dosen yang
digemari banyak mahasiswa karena ketika dia megajar tidak seperti dosen-dosen
yang lain. Tidak monoton dan tidak membuat bosan. Hampir selalu memberikan
pikiran baru, walaupun terkadang yang diomongkan sudah saya rasa basi dan
banyak yang sudah pernah mendengarnya tapi secara garis besar kami suka dengan
gaya mengajarnya.
Lho ko malah ngomongin dosen.
Kembali ke topik awal tentang pengemis. Pengemis membuat banyak orang sensi
termasuk saya. Ketika melihatnya apalagi ketika dia fisiknya kuat dan masih
terlihat muda (baca:ibu-ibu) meminta-minta di tengah jalan. Pak Taufik pernah
mengatakan bahwa ketika memberi pengemis itu uang sama saja kita terus
menjerumuskan dia ke liang kemalasan yang berlarut-larut. Pikirku mereka memang
tak menghiraukan lagi harga diri. Memang jika dibiarkan berlarut-larut mereka
akan memenuhi kota bahkan bisa jadi jika ini dibiarkan terus menerus akan
menjadi penyakit sosial yang berbahaya dan bahkan menular.
Semakin sulitnya mendapat
kesempatan kerja membuat banyak orang pesimis pada kehidupan. Mereka yang malas
untuk mencari uang tidak sedikit yang mengalihkan jalan menjadi pengemis.
Jangan kira pendapatan pengemis tidak seberapa. Lebih besar dari pendapatan
pegawai negeri pada tempat-tempat tertentu yang menjanjikan. Apakah dunia ini
sudah kebalik?. Tangan di bawah lebih baik dari tangan di atas hanya menjadi
istilah di pajangan dinding setiap sekolah saja.
Kala itu saya sedang
duduk-duduk di serambi kampus sambil ngobrol ringan dengan teman sebaya. Tangan
kiri memegang koran yang masih terlipat rapi menandakan baru dibeli dan belum
sempat dibaca. Sedang tangan kanan sedang asik dengan tarian jembol di atas
tombol handphone. Dari arah jauh terlihat seorang ibu-ibu berpakaian lusuh
dengan mengenaan tudung warna coklat
di kepalanya. Menyerupai kebiasaaan orang-orang di desa. Diperjelas dengan
balutan jarit kecil yang melipat
sebagian tubuhnya. Seolah berusaha menampakkan tuna wisma yang membutuhkan
uluran tangan.
Dia datang dan dudu melutut
di depan kami yang sedang asik tertawa riang. Mendadak suasana menjadi hening.
Sebagian dari kami seolah berusaha untuk mengalihkan pandangan dari ibu itu.
Lama waktu berselang dan ibu itu tetap duduk melutut di hadapan kami. Serba
salah. Jika ini dibiarkan seolah ini sebuah teladan untuk tidak menghargai
nilai kemanusiaan. Namun jika kami beri uang, akan berdampak panjang pada
rantai pengemis yang sudah semakin menjamur. Saya panggil ibu itu dan melihat
ke arahku.
“Bu…” sembari menguluran tangan dengan uang 2
ribuan dan sedikit anggukan kepala sebagai isyarat.
“Maaf, ibu dari mana ya?” Tanyaku sebelum
memberikan uang.
“Saya dari Magelang” Jawab ibu itu singkat.
“Sudah lama tinggal di Semarang?” kembali ku
tanyakan untuk mendapat informasi tentang mereka lebih dalam.
“Kalo sore pulang ke Magelang mas.”
“Berarti kalau pagi ibu datang ke Semarang dan
sore Pulang ke Magelang?”
“Nggih
mas.”
Dalam hati saya ragu dengan jawaban-jawaban
singkat yang ibu ini berikan. Saya bahkan sempat berasumsi bahwa ibu ini memang
sudah memiliki skenario sendiri. Jadi ibarat sudah ada persiapan untuk menjawab
pertanyan apapun. Toh siapa yang mau bersusah payah untuk memastikan uang
sedekahnya mengalir sampai ke tangan orang yang benar. Atau berusaha
mengungkit-ungkit asal usul pengemis di jalan.
Namun aku tak mau kehabisan akal. Selama uang
yang mau tek berikan masih ada di peganganku terus tek tanyakan hingga rasa
keingintahuanku terpuaskan. Pertanyaan yang dijawab dengan singkat belum
memberikanku gambaran apa-apa mengenai kehidupan ibu ini. Hingga tek coba
dengan pertanyaan-pertanyaan yang berasas”how”
“Ibu datang ke sini sendirian? Itu tadi yang
bareng ibu siapa?”
“Setiap hari saya pergi berdua dengan ibu itu,
ya sama dari Magelang”
“Magelangnya mana bu?”
“Magelangnya dekat alun-alun mesjid agung desa
Wonosari”
Entah itu desa ada atau tidak yang jelas saya
sedang berusaha membaca mimik mukanya apakah dia benar-benar jujur atau tidak.
Saya melihat memang ada yang ganjil dari beberapa pertanyaanku. Hingga saya
mencoba membuat skak mat dan ibu itu
terlihat gelisah menjawabnya.
“Sebelumnya ibu kerja apa? Ko bisa sampai di
sini (minta-minta maksudnya)?”
“Hm, dulu mbantu-bantu itu mas.. hmm… pembantu di rumah orang. Ya sama orang lain.
Tapi ga lama terus berhenti, majikannya ga mau lagi”
Sudah hampir ke tebak, namun tidak mau saya
teruskan. Kasihan melihat muka ibu itu sudah mulai bingung. Apalagi ditambah
dengan beberapa temanku yang ikut merubung
ibu ini. Hingga akhirnya saya kasihkan uang di tanganku dan membiarkan ibu
itu menghilang dari hadapanku. Namun seperti biasa jurus para pengemis ketika
mereka sudah mendapatkan uang dari seseorang dia mulai mendoakan orang
tersebut.
“Semoga mas diberi panjang umur, kesuksesan
…………… end”
Saya tak habis pikir di negeri Indonesia yang
katanya kaya dan merdeka ini masih banyak sekali pengemis berkeliaran
disana-sini. Padahal menurut Undang-undang kalo ga salah pasal 34 yang
menyatakan bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Kemana andil negara/pemerintah dalam mengatasi hal ini?.
Memang bukan sepenuhnya salah dari pemerintah.
Kita pun terkadang ikut andil dalam menciptakan kemiskinan dan orang fakir di
negara ini. Mari mulai dari sekarang kita harus berusaha untuk memberikan
apresiasi terhadap para pedagang kecil dan UKM agar mereka bisa berkembang.
Bisa dengan cara membeli barang-barang dagangan mereka dari pada harus beli di
mall-mall yang mewah. Walaupun harganya terpaut sedikit. Paling penting adalah
partisipasi kita dalam membantu membangkitkan semangat usaha mereka. Usaha
walaupun kecil itu lebih bernilai dari pada meminta-minta.
Post Comment
2 komentar
Nah, itu..
Niat sedekahnya juga perlu diperbaiki. Kalo menurutku, lebih baik diserahkan ke lembaga zakat terdekat di sekitar. Mereka lebih tahu memetakan orang-orang yang layak diberi bantuan. Dengan adanya lembaga zakat, seharusnya mereka diberdayakan untuk memiliki bekal kemampuan kerja. Tak hanya diberi materi semata.
Yapz. ternyata harus lebih banyak membaca lagi agar premis yang disampaikan lebih tajam. Ternyata pembarian amanah yang disampaikan di tulisan harus benar-benar diperhatikan...
matur nwun...
semoga mereka yang kurang beruntung bisa mendapat hidayah dan kesadaran untuk kembali berusaha di jalan-Nya.. amin
EmoticonEmoticon