“Tong-tong-tong.” Suara kentong tanda malam telah tiba. Tradisi
yang ada di desa Dumilwati. Setiap jam sembilan malam pasti ada suara kentong
untuk menandakan sudah saatnya jam malam dan dilarang kluyuran di luar rumah.
Terutama untuk anak kecil dan perempuan. Serta pertanda juga jika sudah ada
yang stand by jaga poskamling, alias ronda. Malam ini giliran Kartono yang
harus jaga malam.
Sunyi. Senyap. Itu suasana yang tergambar di desa Dumilwati. Desa
ini terkenal angker karena dulu ceritanya di desa ini ada seorang gadis bernama
Dumilwati yang meninggal dengan cara tragis. Dulu setiap ada orang yang hamil
harus dilakukan syukuran pada malam ke-17 bulan ke-7 pada usia kehamilannya.
Dialah Dumilwati, gadis yang sedang hamil 7 bulan dan sudah saatnya harus
diakan persembahan dan syukuran.
Semua warga berkumpul di pelataran rumah Dumilwati. Di tempat ini
akan diadakan upacara syukuran sekaligus persembahan kepada arwah leluhur. Malam
ini bertepatan dengan malam ke-7 pada penanggalan Jawa. Para sesepuh desa
berkumpul di dalam rumah Dumilwati. Anak-anak berlarian saling berkejaran untuk
mengisi waktu malam mereka. Mumpung mereka dapat bermain malam hari. Terang
benderang, bulan menampakan wajahnya begitu asli. Ibu-ibu sibuk dengan
perbincangannya mengenai kehamilan Dumilwati yang tampak aneh. Padahal
Dumilwati baru menginjak bulan ke-7 tapi perutnya sudah begitu besar. Rantai
rumpi ibu-ibu pun dengan cepat menyebar kepenjuru kampung. Tapi keluarga
Dumilwati tak pernah merisaukan perkataan dari tetangga dan kerabat dekat
mereka.
Kala upacara dimulai, tiba-tiba Dumilwati meronta kesakitan.
Perutnya bergerak-gerak. Semua orang heran dan tak bisa berbuat apa-apa, hanya
melihat dengan ketakutan yang amat sangat. Para sesepuh dan dukun kampung
datang menghampiri Dumilwati. Dukun itu mengeluarkan mantera dan tak ada satu
orang pun disana yang mengetahui apa
yang diucapkan sang dukun.
Dumilwati dari dalam kamarnya segera dibawa ke pelataran rumahnya.
Disediakan kembang 7 rupa untuk menghormati arwah yang akan datang pada malam
persembahan ini. Tak lupa potongan kepala Kerbau yang paling penting sebagai
benda sesajen kepada arwah leluhur yang akan membantu mereka mengusir roh
halus.
Terisak tangis terdengar dari semua anggota keluarganya. Mereka
semua termasuk warga desa mengkhawatirkan Dumilwati dan anak yang dikandungnya.
Mbah dukun sedari awal sudah memperkirakan bahwa arwah luluhur tidak lagi doyan dengan kepala kerbau yang telah
disajikan. Tapi akan mengambil bayi yang ada dalam perut Dumilwati. Namun mbah
Dukun tidak mau memberi tahu siapapun mengenai Firasat itu. Seandainya Mbah
Dukun memberi tahu bahwa Dumilwati terancam bahaya mungkin dia akan menghindar
dari upacara ini dan menjadikan arwah leluhur murka. Bila arwah leluhur murka semua
warga bisa terancam bahaya bahkan semuanya bisa sirna oleh kemurkaan arwah
leluhur ini.
Angin malam mendadak mencuat tak terkalahkan. Sepertinya alam
sedang marah dengan adanya acara ini. Pohon bergoyang sekuat tenaga. Burung
malam mengeluarkan suara yang mengerikan. Deru angin terus memekikan telinga.
Sedangkan Dumilwati menjerit kesakitan. Semua orang berlindung dengan
merebahkan diri ke tanah meminta ampun pada yang maha kuasa. Mbah dukun dan
petinggi kampung meminta semua agar orang merunduk dan bersujud pada Dumilwati
agar roh jahat yang ada dalam perutnya segera keluar. Semua pun menurut
perkataan sang Dukun.
“Keluarlah.. Keluarlah….!!!” Suara sang dukun dengan nada yang
begitu besar dan menyeramkan.
“Duuuuuuar…!!” mendadak suara keras mengalahkan suara alam dan
dukun itu.
“Oee… Oweee.. Owe…!” suara bayi terdengar mengetok gendang telinga
semua orang yang ada disana. Semua mata tertuju pada Dumilwati. Tapi tak
seorang pun melihat ada bayi yang keluar dari perut Dumilwati. Sementara
Dumilwati sudah lemas tak bernyawa.
Perut Dumilwati pecah dan menganga lebar. Darah mencuat dari mulut
Dumilwati. Burung-burung kelelawar hitam terbang berputar di atas perut
Dumilwati. Mendadak semua orang yang melihat kelelawar dan mendengar kelelawar
itu menjadi buta dan tuli.
Semua orang lantas lari ketakutan dan saling bertabrakan tanpa
arah. Sejak itulah desa ini diberi nama desa Dumilwati.
Sampai sekarang banyak orang yang percaya dengan kisah mistis ini.
Begitu juga dengan Kartono. Sambil mengapit rokok diantara jari tengah dan jari
telunjuk di tangan kanannya, Kartono terus berfikir hebat. Malam ini adalah
malam jumat tanggal 17. Dahulu pada tanggal sakral ini harus diadakan upacara
persembahan. Tapi kini karena semua sudah modern dan tak ada lagi yang percaya
hal-hal mistis hingga tak pernah ada lagi upacara persembahan. Lagi pula juga
agama melarang upacara sedemikian yang membuat kita menjadi Syirik.
Kartono tak bisa berhenti memikirkan itu. Seandainya ada roh
Dumilwati di sini, dia bisa mati berdiri. Sarung yang dipegangnya dipakai untuk
menutup kepalanya rapat-rapat. Tiba-tiba suara aneh menghampiri Kartono. Dia
mengintip dari lubang kecil yang ada disarungnya. Lubang akibat terkena bara
rokok yang tidak sengaja menyenggol sarung tipisnya. Berharap tidak terjadi
apa-apa.
Suara itu seperti suara bayi yang meringik. Tapi di sini tidak ada
bayi. Tiba-tiba datang menhampiri seorang wanita yang mengenakan pakaian serba
putih. Kartono mengucek-kucek matanya. Dia melihati ibu itu ternyata kakinya
tidak menyentuh tanah dan perutnya bolong.
“Tolooooong…Tolong…!!!”
“Gubrak..!” tiba-tiba Kartono jatuh dari pos ronda ke tanah.
Ternyata dia ketiduran tadi malam. Dan semua yang dialaminya hanya mimpi.
_Badiuzzaman
18 Desember 2012
Post Comment
EmoticonEmoticon