Sahabat Terakhir


Lantunan lagu ini mengingatkanku pada acara perpisahan di SMA dulu. Semua bernyanyi menyanyikan lagi ini. Ya semuanya, kecuali aku. Mungkin aku satu-satunya orang yang tak hafal lirik lagunya. Aku ngrasa waktu itu anak tercupu di sekolah itu aku. Memang setiap harinya hanya bergulat dengan buku, buku dan buku. Tapi bukan buku pelajaran yang aku minati, aku terlalu sering baca buku cerita dan majalah. Bahkan waktu istirahat sekolah aku rajin mengunjungi perpustakaan, bahkan pernah menyabet gelar sebagai pengunjung perpus paling banyak dari pengurus perpustakaan sekolah. Entah itu pujian atau ejekan. Sementara teman-teman yang lain menghabiskan waktu istirahat sekolah mereka di taman dan di kantin.
Aku selalu pengen ketawa jika mengingat-ingat lagi masa SMA dulu. Dulu aku tak  banyak memiliki teman. Hanya satu yang paling aku kenal banget. Namanya Beqi. Itupun teman yang sedari SMP bahkan rumah kami tak terlalu jauh. Dia memang tak jauh beda dengan aku, cupunya. Tapi dia mending, dia hampir semua mata pelajaran dikuasainya. Selalu mendapat ranking di kelas kami. Kelas dua dan tiga kamu satu kelas. Hampir setiap hari duduk bersama satu meja di deretan terdepan. Itupun kalau beruntung karena aku orangnya telatan dan meja terdepan menjadi hukuman bagi mereka yang datang telat. Biasanya korbannya aku dan Beqi. Bukanya aku bandel tapi aku itu terlalu malas untuk bangun pagi.
Ketika itu waktu ujian semester, aku pun hampir selalu dapat nomor terdepan dalam posisi duduk dalam kelas ujian. Bukan karena datang terlambat tapi karena absenku ada di urutan teratas. Satu step lebih tinggi dari Beqi. Dia teman yang loyal, tapi sayang kalo dalam urusan ujian dia tetap bersikukuh tak bisa membantu dan tak mau dibantu. Katanya sih berdalih karena tidak mau nilai yang didapatnya nanti tidak berkah. Kerja sama boleh tapi tidak dalam keburukan. Itu benar sih tapi kalo aku asal ada ijab dan qabul dari kedua pihak dan tak ada yang diirikan itu halal saja. Wallohu alam.
Waktu ujian pun berjalan begitu cepat bagiku. Hari itu hari ketiga ujian semester. Ketika itu aku dan Beqi dalam kelas yang sama yakni kelas 9B. Ujian yang paling menentukan karena itu akan menjadi acuan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri oleh dinas pendidikan dan pihak universitas. Maklum waktu itu sedang santer-santernya SPMB dan beasiswa bidik misi dengan salah satu syarat nilai Raport semester gasal kelas 9. Semua akan menjadi masalah jika aku tak bisa mengerjakan soal ini. Soal dari salah satu mata pelajaran yang aku benci. Matematika.

Jam ujian dimulai, persiapanku memang belum matang-matang amat. Tapi seperti biasanya kalau ada ujian aku sok siap dan tak mau terlihat ragu masuk ruang ujian. Karena apapun yang terjadi akan ku lakukan sebisaku. Jika itu sudah mentok berarti pertanda harus tanya kanan kiri.
“Zi, permen mau?” tawar salah satu teman cewek yang lumayan aku pandang dan tumben memberiku perhatian.
“Oh boleh, boleh..”
“Nih.” Sembari mengulurkan tangan kanannya yang berisi permen mint.
Tak perlu berpikir panjang, langsung saja aku buka bungkus permen itu dan ku masukan dalam mulut permen yang terlihat berkilauan. Pikirku tak apa, sekali-kali menghormati pemberian orang lain. Walaupun aku sangat jarang ngemood permen. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku megang permen. Begitu masuk dalam mulut aku mulai merasakan kenangan waktu kecil dulu, ternyata permen itu enak yah. Melegakan pikiran dan membuat orang merasa tenang walaupun aku sedang tegang mau ujian.
“Teng-teng-teng” suara lonceng sekolah menandakan waktu ujian telah dimulai. Suaranya sama sekali tidak mirip dengan lonceng sekolah. Tapi seperti lonceng kuil seperti dalam film nya Boboho.
Waw. Ucapan dalam hati setelah melihat soal yang begitu mengerikan. Susah untuk dicerna orang yang memiliki otak pas-pasan kaya aku. Mungkin benar dulu waktu penjurusan masuk kelas IPA atau IPS aku lebih cocok masuk IPS. Aku hampir tak sanggup menyelesaikan satu soal pun. Alhasil aku hanya bisa menuliskan kembali soal dengan kata “diketahui” dan “ditanya” pada lembar soal. Maklum ketika itu sedang marak-maraknya menulis kembali soal pada lembar jawaban untuk menambah nilai. Sedangkan ketika menuliskan kata “jawab” aku hanya bisa mengerutkan kening dan menggigit bibir bagian bawahku.
“kruk-kruk” tiba-tiba suara perut merintih kelaparan. Memang tadi pagi aku bangun kesiangan dan tak sempat sarapan. Ditambah dengan ngemood permen yang diberikan sama Lidya tadi. Wah sungguh benar sakitnya ni perut. Padahal baru setengah pertandingan. Aku belum menang dengan matematika. Udah tidak bisa berhitung dan  berfikir lagi. Kebetulan Beqi duduk di depan kursiku persis.
“Beq, tolong aku. Aku sakit perut. Aku nyontek ya.. please.. udah ga tahan ni” Pintaku dengan nada memelas dan pucat pasi.
“Mending kamu ijin saja ke kamar mandi. Baru nanti balik kesini ngerjain lagi” Jawabnya ringan.
“Ah, kamu ini. Ini sakitnya beda. Harus segera ditangani ke klinik”
“Biasanya kamu juga ngomong gitu pas ujian. Bair dicontekin kan. Ga ngaruh, tak ada yang kamu bisa bohongin lagi.”
Memang sih sakit perut menjadi salah satu alibiku yang paling ampuh. Bahkan ujian terakhir aku bilang kalo aku sakit perut dan diijinkan untuk ke toilet. Di toilet aku buka contekan dan ditulis ditangan. Tidak ketahuan dan nilaiku lumayan bagus. Tapi ini beda. Aku benar-benar sakit perut. Beqi yang notabene teman dekatku malah ga percaya.
Mukaku terus memucat. Mataku sembab. Telapak tangan mulai keluar keringat dingin dan tubuh terasa begitu lemas. Tak bisa lagi berfikit. Aku terus memohon sama Beqi untuk memberi jawabannya. Tapi dia bersikukuh tidak percaya padaku.
“Udah ah Zi, kamu itu ga usah belagak bohong lagi atau aku laporin ke pengawas ujian” kelihatanya Beqi udah kehilangan kesabarannya. Dan mengatakan pada pengawas kalau aku mau minta jawaban darinya.
“Sial kamu, beneran mau bunuh aku ya. Aku tak mau lagi berteman dengan mu. Ga mau liat kamu lagi.” Aku begitu marah mendengar kata-katanya.
Semua yang aku kerjakan seolah sia-sia. Pengawas ujian datang menghampiriku. Mataku mulai kabur melihatnya. Sulit sekali membuka mata. Baru kali ini aku ngrasa pusing yang  begitu hebat. Sakit perut bercampur dengan rasa benci atas ulah temen yang paling aku anggep teman. Tiba-tiba semuanya terlihat gelap dan aku tak sadarkan diri.
Ketika membuka mata, aku melihat teman-teman ada disekelilingku. Di Rumah sakit. Mengenakan baju hitam-hitam. Semuanya bermata sembab melihatku. Terlihat seperti menangisiku.
“Aku sudah mati ya… Ahhhh.. TIDAK…!!!”
Seisi rumah sakit melihatku dengan pandangan sinis. Suaraku yang memecah keheningan rumah sakit tiba-tiba disaut oleh suara suster yang ada disamping pintu masuk.
“sst…. Dek, jangan berisik ini rumah sakit”
“Jadi aku belum mati.? Terus kenapa kalian memakai baju item-item semua”
Mama mendekat dan mengelus kepalaku.
“Zi, kamu tidak apa-apa, tadi kamu pingsan dan ada operasi yang harus segera kamu lalui. Operasi usus buntu. Tapi sudah selesai ko sebelum kamu sadar. Kalau tidak segera dioperasi bisa membahayakan keselamatanmu. Mungkin karena akhir-akhir ini makanmu ga teratur. Makanya kalo dibilangin mama suruh makan, kamu jangan ngelak terus ya?” aku tertunduk malu mendengar ucapan mama.
“Benar zi,” ucap guru pengawas akan memulai pembicaraan.
“Tadi pagi ketika kamu ngerjain ujian, kamu tiba-tiba pingsan dan untungnya Beqi langsung beritahu kalo kamu sakit perut dan sudah tak tertahankan. Lalu kami langsung bawa kamu ke Rumah sakit. Dan ternyata harus segera dioperasi. Tapi ternyata takdir Alloh itu tak akan ada orang yang tahu. Beqi kecelakaan ketika tadi siang pulang dari rumah sakit nganter kamu. Motor yang dibawanya tertabrak bus. Kami baru saja layad dari rumahnya.” Kata guruku dengan suara pelan.
“Hah,,, Innalilahi Wa inna ilaihi Rajiun… Beqi sudah ga ada? Yang  benar Pak?” aku mendadak panik.
Semuanya mendadak kembali sunyi. Tetasan air mataku membasahi pakaian khas pasien warna hijau. Tatapanku lurus tak bermakna. Bibirku bergetar tak bisa bergerak. Tak ada satu kata pun yang keluar. Semua hening tanpa kata tanpa suara.
Sejak saat itu aku mulai berubah. Tak pernah lagi menanamkan benih kebencian pada siapapun. Aku berteman dengan semua orang dan berusaha memahami setiap orang yang ada disisiku. Hidup itu adalah perjalanan yang indah, jangan pernah kita mendeskritkan diri kita sebagai orang yang semaunya sendiri dan tak pernah menghargai orang lain.

By. Badiuzzaman
16 desember 2012
Badiuzzaman
Badiuzzaman

Previous
Next Post »

Post Comment

2 komentar

ZAHRA AMANY
AUTHOR
December 19, 2012 at 8:05 AM Reply Delete Delete

ceritanya bagus..
tapi maaf, SMA itu kelas 9 ya? ._.

avatar
Badiuzzaman
AUTHOR
December 19, 2012 at 1:09 PM Reply Delete Delete

wahaha... oh iya.. kelupaan.,..
makasih koreksinya.. sering2 berkunjung ya..
Mercy...

avatar