Teori Teorus

Suara ayam berkokok membangunkan Karman yang sedang tertidur pulas kala itu. Siar matahari menerobos masuk tanpa terkendali melalui jendela yangdibuka paksa oleh ibunya. Hawa dingin pagi itu pun langsung mencambuk tulang Karman seketika. Namun semuanya tak membuatnya beranjak dari peraduannya. Dia ta lagi bersemangat untuk keluar rumah hari ini. Semenjak lamaran kerjanya ditolak oleh bayak perusahan yang dia coba lamar.

Tiba-tiba terdengar bak suara petir menyabar di siang hari.
“Arman…. Banguuuuuuuuuuun… sudah siang.. mau jadi apa kamu tidur terus…!!!”
Suara ibu yang setiap padi menghiasai ruang tidur Arman. Arman tak pernah kesal dengan suara ibu. Justru dia merasa bahagia karena dengan marahnya ibu menandakan bahwa ia masih disayang dan diperhatikan oleh ibunya.

Menginjak usia yang ke 25 tahun ini sudah tidak muda lagi, Arman harus segera mencari pekerjaan yang tetap dan mepersiapkan diri untuk membina rumah tangga. Semenjak Lulus dari Sarjana Ekonomi di salah satu perguruan tinggi swasta tak jauh dari tempat tinggalnya, belum ada satupun tempat kerja yang memberikan kesempatan kepadanya. Bahkan karena terlalu lama menganggur Arman hanya bisa mengadu ayam setiap paginya. Begitu juga hari ini sama dengan hari kemaren, hanya bisa nongkrong menunggu nasibdi pos ronda bersama teman-teman gengnya.

Keesokan harinya Arman terbangun jam 8 Pagi. Tak seperti biasanya dia tak ada yang membangunkan untuk Shalat Subuh dan sampai menjelang siang. Rupanya Ibu Arman sudah berangkat bekerja ke Pasar, sementara Ayahnya sudah bekerja di Sawah juga. Tak habis pikir kenapa orang tuanya tak membangunkannya pagi ini. Namun itu tak dijadikan masalah yang berarti, hari-harinya berjalan begitu aja apa adanya. Namun anehnya ibu dan ayah tak mengucapkan kata apapun kepada Arman. Satu minggu berlangsung tak ada ucapan marah, nasehat, teguran atau apapun untuk Arman. Seolah seisi rumah diam tanpa kata.

Satu minggu berlalu membuat hati Arman benar-benar gundah hingga pada suatu malam menjelang tidur Arman memberanikan diri menemui ibunya di Ruang Kelurga
“Bu.. ibu marah ya sama Arman…” Kata Arman mengawali pembicaraan
“Marah, buat apa ibu marah sama Arman. Ibu ga marah ko..”Jawab ibu datar
“Trus kenapa kalau tidak marah setiap pagi ibu ga membangunkan Arman, tak pernah marahin Arman tak pernah nasehati Arman lagi..?”Tanya Arman membabi buta.
“Emannya kamu mau ibu bangunin sampai kapan? Nasehatin sampai kapan? Mau dimarahin ibu terus? Kamu kan sudah dewasa, sudah saatnya mandiri..?” Jawab ibu kesal.
Arman hanya terdiam…

Malam itu Arman tak bisa tidur sedikitpun,,, dia ingin membahagiakan ibunya. Dia ingin memperoleh pekerjaan yang diidam idamkannya. Memberikan nafkah pada orang tuanya, mengingat dia adalah anak semata wayang orang tuanya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum ibunya terbangun Arman memberanikan diri untuk pergi ke kota, mangadu nasib untuk mendapat pekerjaan yang pasti. Sepucuk surat pun ia tinggalkan agar ibunya tak khawatir.

Di kota Arman selalu teringat kata-kata yang muncul dari ibunya. Keberuntungan ternyata belum berada di pihaknya, selama satu minggu berlalu Arman belum juga mendapat pekerjaan, hingga akhirnya dia berjualan Mie di kompleks perumahan. Walaupun tidak pernah siap untuk menerima ejekan dari teman-teman sarjana lainnya dia tetap bertekad untuk membangun kerajaan bisnisnya mulai dari gerobak mie ayam.

Satu bulan berlalu semenjak ia meninggalkan ibunya. Arman mengirimkan surat yang berisi bahwa dia telah memiliki pekerjaan yang tetap namun tak pernah mencantumkan bekerja sebagai apa. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah ibunya senang mengetahui ia sudah bekerja.

Satu tahun pun berlalu, kerajaan bisnis Arman semakin besar, walaupun sempat mengalami kebangkrutan beberapa kali. Sekarang Arman sudah bisa mempekerjakan 35 karyawan tetap. Berkat ketekunan dan keuletan serta teori-teori Ekonomi yang dia pelajari di Universitas membuatnya dengan cepat melesat tinggi menjangkau kesuksesan.


Semarang, 17 Oktober 2012
Badiuzzaman

Badiuzzaman
Badiuzzaman

Previous
Next Post »

Post Comment