Sinar Kota

Di desa terpencil terdapat dua anak sebaya bernama Rolant dan Gandar, mereka begitu akrab sejak taman kanak kanak, namun sayang kebersamaan mereka terputus sejak menginjak bangku sekolah dasar. Rolant ikut bersama dengan keluarganya pergi ke kota Jakarta untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Gandar yang sebenarnya ingin sekali pergi ke kota Jakarta hanya bisa gigit jari mendengar Rolant yang akan ke Jakarta.
Sembilan belas tahun berlalu, Gandar mencoba untuk mengadu nasib di kota Jakarta. Sudah lama berlalu dia tidak pernah bertemu dengan kawan lamanya yang si Rolant. Berharap bisa bertemu dengannya dan bisa membantunya mencarikan pekerjaan. Gandar yang hanya tamatan SMA itu pun tidak mampu berbuat banyak dengan ijazahnya itu. Banyak Perusahaan yang dicoba untuk dilamarnya namun tak ada satu pun yang mau menerima ijazah SMA-nya.
Terus mencoba pun Gandar hanya menghabiskan waktu dan biaya saja. Akhirnya dia menjadi Kernet bus di kota metropolitan itu. Walaupun uang yang dihasilkan tidak seberapa namun dia terus berusaha mencari penghidupan yang lebih baik. Terbersit dalam benaknya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi ketika melihat serombongan pemuda keluar dari kampus ternama di sana. Waktu istirahat siang pun banyak ia gunakan untuk melihat lihat kampus yang kebetulan dekat dengan pangkalan bus yang ia ikuti.
“Betapa senangnya bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi”, gumam Gandar. Tak sampai hati dia untuk membayangkan seandainya dia bisa kuliah seperti orang orang yang berkerumun di sana. Sampai suatu ketika dia memberanikan diri untuk memasuki halaman kampus yang teramat mewah baginya.
“Hey anak muda…!!” terdengar santer suara keras dari kejauhan. Gandar pun menoleh dan tersenyum, balik menyapa kepadanya. Tapi malu tak dikata, bukan dia yang dipanggil olehnya tapi anakmuda yang ada di sebelahnya. Gandar hanya tersipu malu dan pura pura tidak tau.
“Dari mana saja kamu…” Ucap si Pemuda tadi kepada sahabat di sampingnya.
“Untung saja…” bisik kecil si Gandar.
“Rolant bukan..?” Tanya gandar pada pria di sampingnya tadi.
“Siapa ya..?” balik Tanya si pria
“Gandar, gandar… teman lamamu…teman dari desa dulu…” jawab Gandar meyakinkan. Serambi menatap penuh harapan pada si pria tadi. Gandar sangat yakin karena terdapat tahi lalat pada samping kanan kepala pria itu seperti yang dimiliki oleh sahabarnya Rolant.
“Orang ini temenmu..!! kernet metro mini itu??” telisik teman yang bersama pria tadi.
“Te.. te .. teman…, oh bukan bukan, aku ga kenal orang ini. Siapa sih.. aku belum pernah ketemu ma kamu, mungkin kamu salah orang kali… maaf ya..” Tegas pria tadi dengan gelisah. Mukanya memerah seakan menyembunyikan sesuatu.
“Coba di ingat lagi, aku yakin banget kamu Rolant yang aku cari…” tandas Gandar sembari menatap mata pria itu.
“hmmm, aku bukan Rolant yang kamu cari…!!!” bentak pria tadi.
Akhirnya Gandar pun mengalah dan berjalan keluar wilayah kampus dengan penuh tanda tanya dalam benaknya.
“Tak habis pikir apa mungkin Rolant malu sama temannya dan tidak mau mengakui aku yang hanya kernet metro mini ya..” telisik Gandar dalam hati.
Gandar mulai yakin bahwa pemuda tersebut adalah Rolant setelah melihat bekas luka di tangan kanannya karena terjatuh dari pohon ketika bermain bersamanya. Namun tak ada yang bisa dilakukannya lagi. Ia hanya bisa berdoa dan melihatnya dari kejauhan.
Sampai pada suatu ketika Rolant Bersama teman temannya naik metromini yang dijalankan oleh Gandar. Sembari tertunduk gandar tidak bisa berkata apa apa ketika Rolant membayar metromini itu. Ternyata tidak disangka di dalam lipatan uang yang dibayarkan terdapat kertas bertuliskan “ maaf Gandar, aku tunggu di tempat makan samping kanan kampus jam 5 sore nanti, Rolant.”Saat itu Gandar senyum kecil yang menandakan menyetujui pada Rolant.
Waktu sudah menunjukan petang, pertemuan antara sahabat lama tak bisa dihentikan lagi. Ketika itu Gandar datang sepuluh menit lebih awal dari Rolant. Mereka tidak dapat menahan rindu dan saling berpelukan.
“Maaf.. maaf Gandar.. aku tak bermaksud begitu, aku sadar kamulah sahabat terbaikku sepanjang masa” rintih Rolant sembari mengusap air mata yang tak mampu di bendungnya.
“Tak apa yang penting kamu sudah sadar” sanggah Gandar.
“Tapi kawan, aku ini penghianat persahabatan. Tak pernah ngasih kabar ampe puluhan tahun. Tak pernah bantu kamu selama kamu disini. Maaf kawan…” terus Rolant.
“Sekali lagi kamu bilang begitu, kamu takan pernah bisa berjumpa denganku lagi” sebut Gandar sembari menenangkan.
“Ya sudah biarlah yang lalu menjadi sejarah dan kenangan kita….” Lannjut gandar.
Percakapan antar mereka pun tak pernah bisa terhentikan. Rolan bercerita banyak tentang dirinya dan keluarganya hingga sekarang mereka menjadi sukses. Begitu juga dengan Gandar yang menceritakan tentang keadaan desa dan kampungnya. Di sela sela pembicaraa akhirnya Rolant menceritakan kejadian kemaren, ternyata ia tidak mau mengakui sahabatnya itu karena takut teman temanya akan memanfaatkan Gandar dengan naik tumpangan bus tempat gandar bekerja tanpa membayar. Teman teman Rolan itu terkenal nakal dan suka membuat kaonaran.
Tak terasa percakapan berjalan begitu cepat, sudah adzan Magrib berkumandang. Mereka bersama keluar dari tempat makan itu dan shalat Magrib bersama di Masjid kampus yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat makan itu. Seusai shalat mereka melanjutkan percakapan sembari menikmati udara malam dan berjalan jalan ke de sekeliling kampus. Gemerlap lampu menerangi jalan seolah sinar Rembulan di setiap tempat yang ada di desa mereka.
Sesaat Gandar terhenti tanpa sebab.
“Ndar, kamu kenapa?“ Tanya Rolant.
“Boleh kan aku mengatakan sesuatu, penting. Tapi hanya boleh aku dan kamu yang tau…” Tegas Gandar sembari memandang wajah teman yang seolah datang di waktu yang tepat.
“Sejujurnya aku ingin sekali kuliah seperti kamu, aku pengen sekali menuntut ilmu … tapi.. kamu tahu sendiri kan keadaanku,, tak berdaya seperti ini. Untuk biaya makan disini saja aku masih kekurangan, apalagi untuk sekolah…” jelas Gandar.
“Kamu kan pinter, bisa ngajuin beasiswa ko…” jawab Rolant mencoba menghibur.
“tapi . . . “ potong Gandar.
“tapi kenapa?? Ngomong aja,, kalo aku bisa pasti akan kubantu.” Hibur Rolant.
“Ayahku meninggal di sungai perbatasan dekat kantor kecamatan di desa kita. Ceritanya panjang, ketika itu Ayahku menggagas untuk membuat Kincir Air dan Generator untuk menghidupkan listrik yang sudah empat tahun terahir ini padam karena pasokan dari pemerintah tidak ada lagi. Tak tau apa penyebabnya…” jelas Gandar.
“Oh maaf, aku tak bermaksud begitu, lantas..?” Kata Rolant.
“Aku menjadi tulang punggung keluargaku, ibuku sudah sering sakit-sakitan, dan aku juga harus membiayai ketiga adikku. Teras hanya mimpi aku bisa kuliah seperti kamu,.. Sekarang aku juga harus mencari pekerjaan baru lagi yang lebih baik.” Terus Gandar.
“Jangan pesimis gitu.. oh ya, kalo kamu mau besok pagi aku ajak kamu ke rumahku. Ketemu dengan bapak ku kebetulan Bapakku membuka bengkel tidak jauh dari rumahku. Mungkin saja kamu bisa banyak membantu bapakku di sana. Sembari bekerja nanti kamu bisa mengumpulkan uang dan masuk kuliah tahun depan.” Jelas Rolan.
Sudah tak terasa mereka sudah jauh melangkah dan sampai di depan tempat kost Gandar.
“Kamu kost di sini?” Tanya Rolant.
“Iya, ayo masuk…” Ajak Gandar, sembari memegang pundak Rolant.
“Oh ga, aku suka di luar.” Saut Rolant.
“Yasudah, duduk di sini saja ...” kata Gandar.
Mereka pun melanjutkan pembicaraan.
“Sampai di mana tadi…”  Gandar mengawali.
“Sambil bekerja kan kamu bisa kuliah, toh banyak beasiswa juga, nanti saya bantu..” hibur Rolant.
“Oh tidak, aku ingin mengumpulkan uang untuk melanjutkan misi bapakku untuk membuat desa kita teraliri listrik. Aku ingin desa kita tak lagi tertinggal dari yang lain”  Ucap Gandar.
“Tapi tak semudah itu, kamu juga butuh ilmu untuk membuatnya…” Sangkal Rolant.
“Kalo aku punya uang aku kan bisa sewa orang yang pinter untuk membuatnya, atau kamu juga bisa, kalo mau. Berapapun akan aku bayar, asal orang orang di desa kita bisa menikmati listrik, anak anak sekolah bisa belajar di malam hari, ibu-ibu bisa lebih mudah memasak dengan listrik, orang orang bisa merasakan segarnya air dingin seusai dari sawah… Kamu tahu kan…? Tidak ada orang lain yang peduli selain kita.” Jelas Gandar berkobar kobar.
“Baiklah, tanpa dibayarpun aku akan membantu membangun listrik di desa kita…” Kata Rolant.
“Nah,, gitu dong… itu baru Rolant yang aku kenal.” Ucap Gandar.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan larut malam. Rolant pun pulang seolah mendapat beban yang begitu berat di pundaknya.Keesokan harinya Rolant menceritakan semua percakapan dengan Gandar kepada ayahnya. Ayah Rolant sangat mendukung gagasan mereka. Bahkan mau menampung Gandar untuk tinggal bersama mereka.
Sejak saat itu Gandar tinggal bersama dengan keluarga Rolant. Rolant semakin serius dalam belajar bahkan selalu mendapatkan IP tertinggi setiap semesternya. Gandar pun berkerja begitu giat sampai sampai dalam 2 tahun bengkel orang tua Rolant berkembang dengan pesat. Orang tua Rolant pun bangga atas kerja Gandar.
Sampai pada suatu ketika di akhir masa masa kuliah Rolant, ia mengambil skripsi tentang Generator pembangkit tenaga listrik dari kincir Air. Dengan dibantu Gandar dan Orang tuanya, ia merancang Generator di bengkel milik ayahnya. Dan akhirnya berhasil dengan memuaskan. Generator pun berhasil dibuat dengan sempurna. Sesuai tujuan dari awal mereka akan memasangnya di sungai yang ada di desa mereka. Agar dapat mengalirkan listrik dari kincir air yang sudah dibangun oleh ayah Gandar. Walaupun belum terlalu sempurna, namun sudah cukup besar untuk menghidupkan Generator.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Mereka berdua didampingi oleh ayah Rolant kembali ke desa asal mereka untuk mencoba Generator tersebut. Mereka juga dibantu oleh teman teman masa kecil dan warga sekitar mereka. Setelah berhari-hari melakukan pemasangan akhirnya generator yang besarnya hampir menyerupai rumah berhasil dinyalakan. Dan sungai besar yang tak pernah kering setiap taunnya itupun menjadi penggerak kincir yang menuju generator.
Alhasil, listrik di desa itu pun bukan menjadi impian lagi. Kini mereka dapat menikmati terangnya lampu di malam hari dan segarnya air dingin sepulang dari sawah. Kebahagiaan tak bisa tertuliskan lagi. Setelah hamper satu bulan di sana Rolant beserta ayahnya kembali ke kota Jakarta. Rolant sudah bertekad akan melanjutkan usaha bengkel ayahnya. Sedangkan Gandar tetap di desa dan merawat generator bersama teman-temanya.


                                    By. Badi
Badiuzzaman
Badiuzzaman

Previous
Next Post »

Post Comment