“Halo.. Boleh kenalan?” kata yang terucap walau
terbata-bata dari mulutku untuk memulai pembicaraan.
“Hay juga, boleh, Aku Agri namamu siapa?”
jawabnya disertai senyum yang ramah.
“Aku Beny, salam kenal mas.” Sembari
mengulurkan tangan kananku.
Perkenalan yang singkat itu mengingatkan ku
pada salah satu pesan ayahku ketika terakhir kali kami berpisah di terminal.
Beliau berpesan agar aku harus jadi orang yang mudah akrab dengan orang dan
ramah dengan siapapun, sekalipun dia baru ku kenal. Aku adalah orang yang baru
merantau ke Jakarta untuk mencari keperuntungan. Belum genap satu minggu aku
berada di kota metropolis ini, namun serasa menyesak karena belum mendapat satu
pekerjaanpun.
“Sudah lama di jakarta?” tanyaku pada pria
paruh baya yang baru ku kenal di taman kota.
“Aku sudah dua tahun bekerja di Jakarta, aku
dari Surabaya. Kalau kamu gmana?” tanya balik pria yang mengenakan kemeja biru
seragam OB.
“Owh, kerja dimana mas..?” Begitu penasaran aku
dibuatnya.
“Liat gedung yang menjulang tinggi itu?, aku
bekerja di sana. Tapi hanya sebagai Office
boy. Aku berusaha untuk bersyukur bisa bekerja di kota besar ini,
setidaknya bisa untuk menghidupi istri dan anak-anaku.”
“Keluarga di Surabaya?”Sedikit menyela memberi
warna dalam pembicaraan.
“Ya,”Sembari menganggukkan kepala.
“hmmm,”memulai untuk melanjutkan kembali.
“Jaman sekarang mencari pekerjaan itu tidaklah
mudah, apalagi orang-orang seperti kita yang hanya lulusan SMA atau bahkan
tidak lulus, tapi yang paling penting adalah halal, hehe..
Kamu kerja dimana?” lanjutnya panjang.
“Hmm, sebenarnya aku ini baru di Jakarta. Belum
genap seminggu mas, jadi belum dapat pekerjaan apa-apa. Sebenarnya malu sih
mas, kalau ditanya sama yang dirumah-kerja apa dibagian apa- kadang pertanyaan
itu membuatku malu pada diriku sendiri.” Curhatku
Suasana hening sejenak, semilir angin senja
kala itu membuat suasana menjadi agak –krik-krik. Dalam hati aku berharap lebih
semoga orang yang aku kenal itu punya lowongan pekerjaan yang bisa aku
dapatkan. Tak apalah menjadi OB yang penting kan aku sudah ada penghasilan
untuk makan bulan depan. Kalau tiga minggu kedepan aku tak dapat pekerjaan sama
sekali, terpaksa aku harus pulang kembali kerumah orang tua di Boyolali, uang
sakuku sudah tak bisa lagi menutup biaya makan dan hidup di Jakarta.
Dengungan mobil dan motor yang melintas tak
jauh dari peraduan kami seolah sedang mengultusku untuk menyerah pada keadaan.
Sinar senja yang tak lagi terlihat menguning membuatku tersadar bahwa waktuku
tak lagi lama. Baju yang ku pakai ini telah lusuh terkena keringat perjuangan
hari ini, menyusuri penjuru kota untuk dapatkan sebait kata “anda diterima
disini”. Tapi seolah itu hanya mustahil semata, Ijazahku yang hanya tamatan STM
tak lagi berharga di metropolis ini. Kalaupun aku gadaikan ijazah ini untuk
meminjam modal usaha pasti tak akan pernah laku.
Hari sudah mulai larut, suara adzan menggema di
seluruh penjuru kota. Kami pun sudahi pembicaraan tanpa sepatah kata
terdengarpun. Tapi untungnya pria yang baru ku kenal ini mau memberikan no.hp
nya jika sewaktu-waktu aku membutuhkannya.
Walau berat rasanya, aku paksakan di sisa
tenagaku hari ini untuk menuju ke masjid yang tak jauh dari tempatku duduk saat
ini. Masjid itu terlihat sepi, hanya beberapa belas orang terlihat mengenakan
baju gamis dan selebihnya masih menggunakan pakaian kantoran. Lebih banyak dari
mereka yang mengenakan pakaian pelayan ataupun seorang satpam. Setidaknya aku
tak membuang kesempatan ini seusai menunaikan ibadah shalat magrib untuk
berkenalan dari satu atau sebagian orang di sana. Aku termasuk orang yang
menganut pepatah, semakin banyak teman semakin banyak pula rezeki yang kita
dapat. Bukan berarti pengen mendapat tumpangan tenar atau dapat sesuatu dari orang
lain. Tapi niatku tak lebih untuk menjalin silaturahmi sesama umat Islam.
Beberapa hari berlalu, aku berkenalan dengan
beberapa orang yang bervariasi. Ada yang ramah, ada yang jutek, acuh dan bahkan
merasa aku ini menjadi sok Kepedean. Tapi apapun sikap mereka aku anggap
sebagai sebuah perkenalan yang menyenangkan. Sampai minggu kedua di kota
metropolis aku sudah kenal dengan banyak sekalo orang di sana. Namun sayangnya
aku terkenal sebagai seorang pengangguran yang baru datang merangtau dari kota
terpencil di jawa tengah.
Pelajaran banyak aku dapatkan dari
obrolan-obrolan singkat orang-orang yang baru aku kenal. Walau hanya lewat
candaan dan kilasan belaka, aku mulai belajar tentang kehidupa di kota besar
ini. Dua minggu bukanlah waktu yang patut dibanggakan untuk menjadi seorang
pengangguran. Harus segera aku putuskan untuk menentukan nasih hidupku
mendatang.
Kebanyakan peluang pekerjaan yang ditawarkan
adalah untuk menjadi seorang pengantar roti. Istilah dala bahasa kotanya
sebagai Deliver order. Mungkin itu
satu-satunya profesi yang paling memungkinkan untuk dipegang oleh seorang
lulusan SMK seperti aku. Namun syarat yang paling mematikan adalah harus
memiliki motor/ SIM C, kalaupun tidak memiliki motor aku harus memiliki SIM A
untuk mengendarai Mobil. Jangankan buat SIM A, naik mobil saja selama hidupku
bisa dihitung dengan jari.
Semua yang aku dapatkan tak
pernah membuatku patah semangat. Aku akan
menabung dari kerja serabutanku agar bisa nyicil beli motor dan bisa
mendapatkan pekerjaan tetap walaupun hanya seorang pengantar roti. Banyak
sekali serabutan yang aku coba, mulai dari kuli panggul, membawa barang
dagangan ke pasar, kuli bangunan hingga bantu salah satu teman menjadi knek
metro mini.
Namun satu serabutan yang
membuatku nyaman melakukannya adalah aku membuat roti sendiri di kontrakan yang
berukuran 3x4 meter itu. Selalu ku coba meramu bahan-bahan yang digunakan untuk
membuat roti setelah itu roti yang aku buat aku jual ke warung tetangga dengan
harga sangat murah Rp1000 dapat 3 buah. Ternyata roti itu disukai banyak orang
di lingkungan warung itu. Dalam sehari aku sempatkan membuat roti 50-60 roti
namun ternyata itu kurang. Kemudian aku putuskan untuk mengontrak rumah yang
lumayan mewah dengan uang tabunganku dan aku gunakan sebagai pabrik roti
kecil-kecilan.
Setelah 3 tahun berselang,
roti buatanku laris di pasaran dengan harga dan kualitas yang terjamin dan aku
memiliki lebih dari 100 karyawan yang dipekerjakan dari orang-orang yang dulu
pertama kali berkenalan denganku. Akhirnya cita-citaku tercapai, karena pertama
kali aku kesini banyak orang mengeluh pada pekerjaannya, aku ingin mereka
mendapat pekerjaan yang pantas untuk kehidupan mereka.
By.
Badiuzzaman
Post Comment
EmoticonEmoticon