Suasana bumi ini serasa
begitu mencekam, badai dalam diriku datang bertubi tubi tak kenal waktu
dan usia. Umurku masih 17 tahun, serasa belum siap untuk mengemban ini semua.
Jantungku begitu cepat terketuk ketuk oleh irama cepat secepat kereta
sinkansen. Nadiku seolah terhenti oleh bendungan pilu yang kini mengerumuni
sekujur tubuhku. Keringatku saling
berebut untuk keluar dari kulitku yang mulai memucat. Serasa sedang ditunggu
oleh malaikat izrail.
Terhenti sejenak sedang perjalanan pulang dari sekolah di
SMA Negeri Banyumas, SMA negeri satu-satunya yang ada di Daerah tempat tinggal
ku. Walaupun tempat tinggal aku jauh dari sana, tapi inilah perjuangan menuntut
ilmu. Walaupun harus naik sepeda setiap hari sejauh 4 km dan harus bergelantungan
di bus antar kota, aku tak kenal putus asa untuk berangkat ke sekolah. Semenjak
kelas 1 SMA aku tak pernah absen tiap hari untuk naik sepeda dari rumahku yang
terpencil sampai ke jalan raya tempat aku naik bus antar kota.
Perjuangan ini sangat berat kulalui, berangkat pukul 5 dini
hari dan pulang sampai rumah kadang magrib. Secepat-cepatnya sampai rumah jam 4
sore. Namun itu dulu, sampai pertengahan kelas 2. Berikutnya aku ngekost di
samping SMA. Mungkin orang tua kasihan melihatku terus menerus berangkat tanpa
sarapan pagi.
Kali ini aku merasa hidupku mulai meretak tak terbentuk.
Mulai menunjukkan tanda-tanda kiamat batin. Beribu macam petir telah mencoba
untuk mengancam hidupku.
Setelah bunyi lonceng tanda jam sekolah telah usai aku
bergegas kembali ke kost karena sudah begitu ngantuk dibuatnya. Tak jauh dari
puntu kelasku berdiri seorang guru yang terlihat angkuh dan penuh wibawa. Pak Kusjayanto,
itulah panggilan guru Fisika yang telah lama mengabdi di Sekolah ini. Umurnya
sekitar 50 tahunan, dengan paras yang lumayan keren tapi akung rambutnya mulai
enggan lagi muncul di belahan kepala bagian depan. Mungkin malu dengan
orang-orang jika rambutnya tampak dari depan.
“Brandy…!” Terdengar seperti
seorang komandan yang memanggil anak buahnya. Ya, Brandy adalah nama yang biasa
orang-orang sebut untuk memanggilku. Nama lengkap ku Nur Brandy Wicaksana, nama
yang 17 tahun silam orang tuaku berikan sebagai tanda kasih akung kepada
putranya.
“Dalem[1]
pak?”
“Bisa ikut ke ruangan bapak
sebentar..?”
“Boleh pak, sekarang?” Sergah
ku tanpa berpikir panjang.
“Ya.” Tampak sedikit
mengerutkan kening dan mengangguk tanda tampak begitu serius. Aku berjalan
mengikuti beliau dengan penuh tanda tanya. Mungkin ibarat seorang pejabat yang
dipanggil KPK dan belum mengerti atas kesalahan apa yang telah diperbuat.
“Sudah tau kenapa aku panggil
Brandy?” Tanya Beliau yang tampak begitu serius.
“Belum pak, ada apa ya pak?”
“Hmmm.. begini De Brandy,
kemarin siang baru saja diadakan rapat pleno bersama semua guru yang ada
disini. Terkait dengan kenaikan kelas tahun ini. Banyak guru menyayangkan
prestasi belajarmu yang semakin menurun. Aku mengerti besar tanggung jawabmu
sebagai seorang ketua OSIS. Tapi jangan sampai kamu meninggalkan kewajiban
utamamu, yakni belajar. Beberapa Guru mengusulkan kamu belum bisa untuk naik
kelas 3 tahun ini. Namun bapak beserta staf kemahasiswaan menolak itu. Bapak
juga berjanji akan membantumu meningkatkan prestasi belajarmu.”
Pak
Kusjayanto ini selain menjabat sebagai guru, juga sebagai Waka kesiswaan yang
tampak begitu berwibawa dan terkenal dekat dengan siswa-siswanya. Tapi berbeda
denganku, aku merasa enggan dan kurang bisa menyatu dengan beliau karena beliu
itu tampak berlebihan memperlakukanku. Beliau pula yang bertanggung jawab penuh
atas semua kegiatan organisasi dan ekstrakulikuler di sekolahanku.
Beberapa minggu yang akan datang akan diadakan penerimaan
raport untuk kenaikan kelas 3, mendengar pernyataan itu aku menjadi semakin
ragu. Akankah aku jadi salah satu orang yang harus tinggal kelas karena
prestasiku yang menurun?. Detik detik ini membuat kepalaku mulai pusing seolah
terapit oleh gunung Merapi dan Semeru yang sepakat untuk mengancam hidupku.
Benar memang tahun-tahun ini aku disibukan dengan kegiatan
OSIS dan pertemuan pertemuan pelajar di luar kota yang membuatku jarang
mengikuti pelajaran. Bahkan hampir setiap pekan aku harus meninggalkan beberapa
mata pelajaran. Aku yang berada di Kelas IPA membuat ku tak bisa banyak
berkutik. Aku merasa malu dengan teman-temanku yang begitu rajin mengikuti les
disana-sini. Bahkan tidak sedikit yang sering mendatangi rumah guru untuk
mendapatkan materi lebih.
“Terus hasilnya bagaimana
pak?” Tanyaku.
“Masih dalam pertimbangan
kepala sekolah..” jawab pak Kus, sedikit memperlihatkan rasa cemas yang
mendalam. Begitu ingat ku kata-kata beliau ketika aku pertama kali menjabat
sebagai Ketua OSIS, bahwa tak ada jaminan untuk aku naik kelas tanpa syarat.
Harus sama dengan yang lain, belajar dengan baik dan menunaikan kewajiban
sebagai siswa.
Sekolahku ini memang terkenal dengan kedisiplinan yang
tinggi. Walaupun tidak militerisme tapi tak pernah ada siswa yang membangkang,
toh kalau ada tak lebih dari 5 orang. Bahkan setauku bahwa dewan guru sepakat
untuk memegang prinsip dari pada tidak lulus pada saat UAS, lebih baik tinggal
kelas. Itu pula salah satu penyebabnya dari tahun ketahun semua angkatan lulus
100%.
Pembicaraanku dengan Pak Kus tak berlangsung lama, terakhir
kalinya entah beliau memelas atau merah padaku. Beliau ingin aku belajar sungguh-sungguh
untuk ujian Nasional nanti, beliau tidak mau Nama sekolah tercoreng gara gara
satu orang yakni aku. Aku tak habis pikir, masalahku ini bukan main-main saja,
tapi kini menyangkut masa depanku, masa depan harapan orang tua, masa depan
Sekolah dan masa depan Bangsaku.
Hantaman petir terus membayangiku setiap saat, tak kenal
waktu hingga malam pun aku tak pernah terhenti untuk memikirkannya. Apa jadinya
aku ini jika aku terus terusan begini. Sampai malam hari tiba
Post Comment
EmoticonEmoticon