Nasib TKI Satinah, berujung dilematis

Sumber Gambar Suara.com


Mengikuti aliran berita yang kian membrondong manis menghiasi ratusan warta kota dan nasional. Gembar-gembor menyampaikan isu yang sangat seksi untuk diperbincangkan. Peran media memang sangat membantu gejolak hati masyarakat Indonesia. Yang gampang emosi dengan satu berita dan bahkan hanya dengan satu percikan bisa mengadu domba bangsa sendiri. Mungkin itu salah satu sebab kenapa dulu penjajah menerapkan politik adu domba, gampang kan.

Berita yang lagi ngetren ini sekarang sudah mulai landai, namun saya justru tertarik untuk berkomentar ini. TKI Satinah, istilah yang hari-hari ini menggetarkan telinga saya. Bukan kasus yang baru, tahun-tahun yang lalu banyak terjadi kasus seperti ini, TKI yang melakukan pelanggaran di Negara lain. Dihukum, bedanya kalau yang ini di Arab Saudi, jadi hukuman mati sangat mudah dijatuhkan. 

Nama lengkapnya Satinah binti Jumadi, TKI yang berasal dari Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Pada bulan Juli 2007 dinyatakan bersalah telah melakukan pembunuhan terhadap majikan perempuannya Nura Al Gharib. Kejadian di wilayah Gaseem, Arab Saudi. Tertuduh juga mencuri uang sebanyak 37.970 riyal.

Saat itu, Satinah mengakui perbuatannya dan dipenjara di Gaseem sejak tahun 2009 sampai kasasi tahun 2010 akhirnya dinyatakan dihukum mati. 4 tahun yang lalu keputusan akan divonis mati sudah ada dan media baru memberitakan belakangan ini. Pemerintah sudah berupaya untuk menangani masalah ini sejak dulu. Seharusnya Satinah divonis mati Agustus 2011 lalu, namun diperpanjang kembali tiga kali, desember 2011 desember 2012 dan juni 2013. 

Nah dilematis nggak tuh, berita terakhir seharusnya tanggal 3 April 2014 ini akan dilakukan eksekusi. Ada jalan pintas, yakni dengan membayar tebusan. Sebanyak 24 M atau seberapapun itu. Hingga akhirnya di turunkan diturunkan terus.

Saya teringat salah satu partai berwarna merah mengatakan bahwa seberapapun besar masalahnya, warga negara kita tidak boleh dihukum mati di negara lain. Itu soal prinsip, nasionalisme diatas segala-galanya. Walaupun benar telah melanggar  hukum, tapi nyawa warga negara tetap harus diselamatkan.

Sementara partai biru mengatakan, pemerintah sudah berusaha kuat-kuat untuk menangani kasus ini, sudah mendatangkan pengacara resmi ke negeri itu. Dibantu dari kedutaan besar di sana. Namun pada kenyataanya Satinah memang bersalah, telah membunuh dan telah melakukan pencurian. Hukum di Arab Saudi mengatakan bahwa ini adalah kategori hukum berat dan pelakunya siapapun dari manapun harus divonis sesuai  hukum yang berlaku. Yakni vonis mati. Mengedepankan hukum (Pengadilan=keadilan) diatas kepentingan nasionalis.

Semua orang bebas berpendapat dan menentukan tindakan yang menurutnya pantas dan baik untuk dilakukan. Mari bahas sedikit mengenai kedua pandangan tersebut.

Pandangan pertama, mengedepankan nasionalis. Ini baik, rasa solidaritas terjaga untuk satu negeri ini. Saya contohkan dalam skala yang lebih kecil. Masih ingat penembakan oleh sekelompok  batalyon pada preman yang dipenjara di sebuah lapas. Itu contohnya, ketika nasionalis (solidaritas) di atas kepentingan hukum.

Pandangan kedua, mengedepankan pengadilan (baca: hukum) dari pada nasionalis. Aliran ini kadang menelurkan buah pikir bahwa pemerintah tidak care  dengan warga negaranya sendiri. Pemerintah acuh akan nasib warga negaranya di luar negeri. Padahal pemerintah bisa mengambil langkah melalui konsolidasi kedutaan besar dan bantuan jalur hukum. Walaupun kecil kemungkinan nyawa Satinah bisa diselamatkan. Karna Satinah sendiri juga sudah mengakui kesalahannya, dan benar terbukti bersalah.

Salah seorang pengamat Internasional Universitas Diponegoro, Mrs Chaw mengatakan bahwa tindakan menebus nyawa Satinah dengan uang justru akan membuat kita ditertawakan oleh negara lain. Menurutnya ada pihak-pihak tertentu yang berencana untuk "memeras" keuangan Indonesia. Coba bayangkan seandainya semua TKI yang terkena kasus demikian (ratusan TKI) kemudian semuanya dibayarkan oleh negara untuk menyelesaikan kasusnya. Apa kata dunia?. Udah gak usah jadi pemilu deh, uang 700 Milyar yang digunakan untuk membayar saksi di TPS dialihkan saja untuk menebus nyawa Satinah-Satinah yang lain. Sama seperti (jika) pak Hatta Rajasa membayar pengadilan atas kesalahan anaknya yang menewaskan korban jiwa.

Kembali saya melihat ini sebagai pelajaran untuk kita semua, terkadang hukum itu adalah tanggung jawab atas apa yang kita perbuat. Terkadang juga sebagai alat untuk menghasilkan keuntungan atas kesalahan orang lain.




Badi
Badi

Previous
Next Post »

Post Comment