“Saya sudah sering
memperingatkan dia untuk datang tepat waktu, tapi dia memang orangnya gitu.
Kalo dikasih tau denger sih denger tapi keluar lagi dari kuping kiri kayaknya
pak..” Tuti berucap menggebu-gebu membuat telingaku memanas mendengarkannya.
Walaupun itu mungkin memang kenyataan, mungkin, tapi tetap saja kebiasaan
menjelek-jelekan orang lain membuat hatiku resah dan jengkel. Mungkin saja
diluar pengawasanku Tuti ini bisa saja menceritakan kejelekan-kejelekan
perusahaan yang sedang saya jalankan ini.
“Seminggu
ini sudah berapa kali dia terlambat?” Tanyaku perlahan seperti seorang yang
tampak ragu untuk berbisik ataupun mengutarakannya terang-terangan.
“Hampir
setiap hari pak, mungkin sudah sampai empat kali.”
“Memang
rumahnya dimana?”
“Wah,
saya nggak tau pasti juga pak, katanya sih jauh.”
“Oh
mungkin karena itu dia sering terlambat. Nanti kalau dia sudah datang tolong
kasih tau dia suruh dia ke ruangan saya ya.?” Aku terus berusaha untuk
bijaksana di depan karyawan banyak yang sedang berlalu lalang. Seorang pemimpin
yang bijak memang sangat diperlukan saat-saat seperti ini.
“Nggak
mungkin pak, dia kan memang orangnya males. Kalau memang jauh kan bisa datang
terlambat. Kalau kerja juga kadang nggak beres-beres pak. Akhirnya saya yang
banyak bantuin pak..”
“Begitu
ya..?”
“Bener
pak,” Ucap Tuti cepat serasa puas dengan ucapannya yang bisa menjatuhkan reputasi rekan kerjanya itu.
“Yasudah
kalau begitu, Kamu bisa kembali bekerja.”
Kepalaku sedikit mencondongkan ke depan sebagai isyarat untuk lekas
meninggalkanku.
“Baik
pak..”
Tubuh
gempalnya perlahan meninggalkanku yang sedang berdiri seorang diri di lobi
lantai bawah perusahaan. Tuti memang karyawanku yang paling mudah dikenal
karena berbeda dengan yang lain. Ukuran tubuhnya yang tidak seperti yang lain
dan gaya pakaiannya yang selalu berbeda dari yang lain membuatku hafal kalau
itu Tuti. Sementara pegawai lain yang biasa-biasa saja mungkin aku nggak begitu
hafal. Kecuali mereka yang punya prestasi. Nggak semua pegawai saya hafal, tapi
beberapa saya tau. Memang bukan ranahku
langsung untuk menangani mereka tapi pihak manajemen dan supervisor lah yang
menanganinya.
Tapi
entah kenapa permasalahan ini muncul dan cukup menggelitik karena pihak
manajemen dari HRD belum bisa menyelesaikan sampai tuntas. Mungkin sudah
saatnya aku sekali-kali turun langsung.
Saya
terus teringat dengan kedua pegawai lamaku ini. Mereka sama-sama bekerja dalam
satu divisi tapi mereka terlihat sama sekali tidak akur. Atau sedang ada
masalah, saya tidak tahu pasti. Sebulan terakhir ini Ratno sering terlambat
datang ke kantor. Memang saya belum pernah melihatnya langsung terlambat, tapi
dari laporan pegawai yang lainnya seperti itu.
Mungkin
memang benar keputusan yang harus saya ambil yakni merubah sistem absensi
dengan sidik jari yang hanya bisa dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja.
Perusahaan ini memang belum lama berdiri, tapi saya rasa kami bisa belajar banyak dari perusahaan lain tanpa harus
melewati banyak waktu yang harus terbuang untuk belajar berkembang. Bahkan saya
punya prinsip, kalau kita bisa belajar dari orang lain dan memperoleh ilmunya
dari dia secara langsung kenapa kita harus menunggu berumur seperti dia dan
menghabiskan waktu untuk melakukan hal-hal seperti yang pernah dia lakukan.
“Tok.tok.tok..”
Suara pintu ruanganku yang masih tertutup rapat. Saya menduga itu bukan
asisten, karena asistenku hari ini sedang saya tugasi untuk mengikuti workshop
di daerah Kemang.
“Silahkan
masuk..” Ucapku pelan.
Seseorang
bertubuh kurus tinggi, tampak masih ada keringat di kepalanya menyeruak masuk
melalui pintu yang dibukanya perlahan. “Maaf pak, bapak mencari saya.”
“Iya,
silahkan duduk.”
Tubuh
kurusnya mendekati kursi hitam yang berada persis di depan meja kerjaku.
Ditariknya ke belakang tanpa menimbulkan bekas suara sedikitpun. Matanya nanar
melihatku dengan seksama. Tubuhnya lunglai seperti telah disedot energinya
untuk menghidupi lampu rumahnya semalaman suntuk. Kepalanya menengadah ke
arahku pelan.
“Maaf
pak, ada keperluan apa ya..?”
“Hmmm,
begini ya, saya dapat laporan dari karyawan di sini katanya kamu sering datang
terlambat. Benar begitu?”
“Benar
pak, Maaf sebelumnya kalau mengganggu kinerja saya. Tapi…” mendadak mulutnya
terkunci seolah syarafnya berhenti beroperasi, atau mungkin mulutnya tak kuasa
mengeluarkan beban yang terlalu besar untuk dipikulnya.
“Tapi
kenapa..?”
“Saya
terlambat karena harus bekerja sambilan lagi. Anak saya sedang sakit dan
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Saya mau nggak mau harus bekerja ekstra
untuk mendapatkan uang lebih. Sekali lagi maaf pak. Saya masih mau bekerja di
sini.”
“Saya
tidak akan memecatmu, tapi kamu tau kan kalau hasil kerjamu akhir-akhir ini
menurun..?”
“Iya
pak, maaf, besok akan saya perbaiki..”
“Ko
besok..?”
Mukanya
tercengang mendengar perkataanku yang mendadak membuat detak jantungnya
berhenti. Detak nadinya tak lagi berirama. Sulut matanya tak lagi nanar.
“Maksud
saya akan saya segera perbaiki.”
“Setiap
pagi kamu bekerja sampingan apa?”
“Saya
mengantarkan langganan koran sampai jam 8 pagi pak.”
“Hmm…”
saya terkesan dengan kerja kerasnya untuk bertanggung jawab pada keluarga.
Walaupun harus menguras tenaga dan pikiran setiap paginya. Sepertinya saat ini
dia sedang memiliki spirit dan etos kerja yang tak pernah dimiliki oleh
karyawan yang lain.
“Begini
saja, bagaimana kalau bapak bekerja lembur di sini..?”
“Maksudnya
bagaimana pak?”
“Begini,
kita baru saja mendapat tender baru program iklan perusahaan Universal Tractor
di Bandung. Kebetulan belum ada yang megang. Kalau kamu mau nanti saya
pasrahkan ke kamu, tapi harus bekerja bener-bener ekstra.” Ucapanku sepetinya
tidak membuat wajahnya semakin semringah
tapi justru sebaliknya. Dia semakin memucat.
“Tapi
pak, bukannya saya…”
“Sssst,
sudah, saya sudah tau. Nanti saya pinjamkan uang untuk biaya perawatan putramu
yang sedang sakit.”
“Benarkah
pak…?”
“Ya”
Wajahnya
menunjukkan rasa syukur yang tak bisa terungkapkan dengan kata-kata. Hanya
ucapan doa lirih yang mungkin hanya dia dan Tuhannya yang tau.
Beberapa
bulan kemudian dia berhasil menyelesaikan proyek itu dengan sangat memuaskan.
Bahkan dari pihak klient memberikan apresiasi yang sangat tinggi karena mereka
menilai perusahaan kamilah yang paling baik dalam menyelesaikan pekerjaan
seperti itu dalam sejarah berdirinya perusahaan klient itu.
Sebagai
insentif karena dia telah memberikan yang terbaik untuk perusaan ini maka
hutang-hutang pembayaran pengobatan anaknya kami ikhlaskan. Dia tak perlu lagi
mengembalikan uang itu. Mungki saya rasa ini yang disebut dengan kekuatan lebih
yang dimiliki oleh seseorang pada saat dirinya terdesak.
Semarang, 13 Maret 2013
Badiuzzaman
Post Comment
2 komentar
hai ..
hihi
eh ini kisah nyata atau gimana? enak bacanya, sukaaa
halo halo..
terimakasih sudah berkunjung.
Terinspirasi dari kisah nyta,tapi tidak seratus persen orisinal.
Sudah saya tambahkan bumbu-bumbu penyedap tulisan, biar enak dibaca..
:)
EmoticonEmoticon