JIKA BENAR SUSAH



Langkah kakinya terus dihantamkan ke tanah beraspal tanpa henti. Panas terik matahari membuat keringatnya mendidih dan siap untuk dijadikan hidangan kopi di pagi hari. Kulitnya menjadi gelap, semakin menunjukkan kegarangan mentari yang tak henti. Angin tak lagi datang menerpa dirinya yang kepanasan atau mungkin sudah enggan lagi bertemu dengan orang sepertinya. Mungkin pula angin termenung kasihan melihat dirinya yang kesana-kemari mencari kehidupan.

Satu-dua suap nasi kecil tak lagi dia peroleh, semenjak keluar dari perusahaan yang telah memberinya hidup. Semenjak itulah kariernya hancur dan tak lagi ada penopang untuk kehidupan keluarganya. Dia yang hanya lulusan SMA tak lagi punya tempat di kota ini untuk mendapat pekerjaan yang layak. Hanya office boy yang kini bisa menjadi sedikit harapan untuknya dan untuk masa depan keluarganya. Tapi, kantor mana yang masih membutuhkan tenaga orang sepertinya. Kurus, dekil dan tak terawat.

Tak lagi heran, kini nasib anak-anaknya berada di ujung tanduk. Sedikit lagi dia dan keluarganya akan benar-benar pupus harapan untuk hidup. Mungkin mati muda akan lebih terhormat baginya daripada menjadi gelandangan seumur hidup.

Istrinya kini harus ikut banting tulang menjadi buruh cuci di kompleks rumah yang kian reot mereka tempati. Setiap pagi harus menyatroni rumah-rumah tetangga demi memperoleh satu atau dua lembar uang lima ribuan. Hanya cukup untuk makan sehari saja. Jika esok ingin kembali makan, maka dia harus kembali melakukan hal yang sama.

Parman kuni telah genap satu tahun menjadi pengangguran di kota metropolis itu. tabungannya pun tak lagi tersisa untuk membiayai sekolah kedua anaknya yang kini menginjak bangku SMP. Dia memang sangat ingin kedua anaknya itu menjadi anak yang berguna dan mendapat pendidikan yang setinggi-tingginya agar kelak tidak menjadi orang yang sengsara seperti keluarganya kini.

Namun harapan hanya menjadi asa semata. Tak lagi ada usaha yang bisa membantu memutar kembali roda kehidupan. Dirinya tak lagi mampu menghidupi istrinya yang kini hamil anak yang ketiga. Gelandangan, mungkin itu akhir dari hidupnya yang tak lagi jelas masa depannya. Atau mungkin jadi pemulung yang merupakan pekerjaan paling mudah untuk dikerjakan, tak ada aturan, tak ada atasan dan hasil pun tak lagi memuaskan.

Setiap hari dia telah menyanjangi sedikitnya lima puluh perusahaan untuk mencari pekerjaan. Lagi-lagi karena pendidikan dia harus memutar balikan keinginannya. Memang terlihat memaksakan, terkadang harus datang wawancara. Namun ujung-ujungnya dia hanya sekedar diminta meninggalkan no.telp. dan alamat yang bisa dihubungi dengan dalih jika nanti ada posisi yang membutuhkannya akan segera dihubungi.

Bersambung….

Badiuzzaman
Badiuzzaman

Previous
Next Post »

Post Comment