Hari itu adalah hari yang begitu membahagiakan bagi Sunarto. Narto,
panggilan akrabnya. Mungkin kalau di jepang namanya Naruto. Tapi dia orang jawa
tulen. Cara ngomongnya masih sangat ketara dengan logat jawanya yang kental.
Begitu bahagia karena dia hari ini akan berpidato di depan ratusan orang yang
akan mendapat penyuluhan pertanian. Narto ini mendapat sarjana pertanian di
salah satu Universitas terkemuka di Jawa. Kebetulan hari ini begitu bahagia
karena dia ditempatkan di daerah yang begitu natural dan mungkin ketika dia
salah mengajarkan sesuatu tak ada yang memprotesnya. Di Kalimantan selatan.
“dug, dug..” suara
microfon yang diketok dengan jari mengawali
fokus orang-orang yang berada di ruangan itu. Menandakan pidato
pembukaan akan segera disampaikan oleh Narto. Dengan kebanggaan dan percaya
diri Narto memulai pembicaraanya dengan basa basi kecil. Sebenarnya ingin
mengisi dengan beberapa candaan untuk mencairkan suasana. Namun beberapa joke yang dicobanya gagal menembus tawa
pendengar.
“Para hadirin yang
saya hormati, Nama saya Sunarto. Saya biasa dipanggil Narto. Asal jangan dipanggil
sama KPK atau dipanggil sama Yang Di Atas dulu.” Narto terdiam sejenak. Tak ada
sedikitpun gelak tawa yang muncul di ruangan itu. Hanya ada beberapa orang yang
tersenyum dan mengerti apa yang disampaikan Narto.
Narto hampir
menyerah untuk membawa pendengar dengan suara riuh tawa kekeluargaan. Tapi
mungkin karena selera humornya yang terlalu tinggi atau memang kurang lucu. Dia
juga tak habis pikir. Ahirnya Narto kembali ke inti pembicaraan.
“Saya mendapat amanah
untuk menyampaikan pada para hadirin sekalian yang ada disini. Dari dinas
Pertanian pusat akan memberikan sumbangan berupa alat-alat pertanian. Ada 500
.. Pacul dan 400 Clurit untuk kebutuhan pertanian di sini.” Tiba-tiba Narto
terdiam.
“Lima ratus
pacul..!!!” salah satu pendengar yang ada di barisan depan berteriak
memastikan.
“Iya.. 500 ..
Pacul” Ketika itu Narto lupa nama Indonesia untuk kata pacul. Jadi dia tetep
menggunakan kata itu. Toh itu nama popular di daerahnya di Jawa, mana mungkin
di Kalimantan Selatan tidak tau pacul, begitu pikirnya.
“Hahaha..m hhuuu” tiba-tiba tak lama setelah orang mendengar
jawaban Narto bersorak dan tertawa terbahak-bahak. Di satu sisi dia senang karena bisa membawa penonton
dalam kelak tawa. Namun di sisi lain dia bingung sebanarnya apa yang mereka
tertawakan.
Kebingungan itu
sampai dibawanya sampai turun podium. Kemudian menanyakan kepada salah satu
rekan panitia yang kebetulan adalah orang Kalimantan selatan. Ternyata bahwa
kata pacul jika diterjemahkan dengan bahasa di sana berarti alat kelamin laki-laki. Mendadak mukanya menjadi
memerah tak bisa menutupi rasa malu yang menimpanya. Sejak saat itu ada julukan
aneh untuk Narto. Tuan Pacul.
Banyak sekali
bahasa di negeri ini hingga memungkinkan persamaan kata yang unik dan
menggelitik. Kita yang merasa mencintai Indonesia juga harus mempelajari dan
minimal mengerti beragam bahasa di negeri ini. Misalkan saja kata butuh. Dalam bahasa
Indonesia berarti membutuhkan sesuatu, namun dalam bahasa Melayu kata butuh diartikan
sebagai ‘kemaluan laki laki’. Sejak tahun 2003, keberatan atas penggunaan kata
butuh inilah menjadikan diadakannya rapat besar-besaran oleh para ahli bahasa
dan ditetapkan penggantiannya dengan kata ‘perlu’. Arti katanya hampir sama
memerlukan versus membutuhkan. Namun
ada yang aneh lagi, salah satu kecamatan di Daerah Purworejo, Jawa Tengah
bernama Butuh!. Nah lo.. ini bukan lagi
tugas ahli bahasa tapi ahli nama kecamatan yang harus turun tangan.
Masih ada banyak
persamaan kata yang membuat kita geli. Masih inget kata momok?. Dalam bahasa jawa berarti “hal yang ditakuti” kalau di
Sunda momok berarti ‘Kemaluan perempuan’.
Namun di jawa kemaluan perempuan juga disebut tempik yang dalam bahasa melayu berarti bersorak. Dan seterusnya..
banyak sekali..
Maka dari itu
marilah mempelajari ribuan kosa kata bahasa sendiri sebelum kosa kata itu jatuh di tangan orang
lain. Cinta bahasa cinta Indonesia….
Semarang, 6 januari 2013
Badiuzzaman
Post Comment
EmoticonEmoticon