Langit sepertinya sudah
bosan melempari bumi dengan gumpalan-gumpalan air selama seharian. Kala
matahari sudah tak ingin melihat kebrangasan awan tanpa ampun terhadap bumi.
Kala itu pula bumi merasa tenang dari gangguan langit yang tak berbelas kasih.
Sore hari menjelang, dingin, hampir gelap. Tak ada angin atau sinar mentari
sore. Muda-mudi keluar dari peraduannya di dalam rumah. Sedikit menikmati
suasana di luar rumah setelah seharian penuh mereka hanya bisa meringkuk
kedinginan dalam balutan selimut tebal. Hampir tak tau apakah hari ini mentari
menyapa bumi atau hanya sekedar lewat.
Sesosok
pemuda datang dari arah kejauhan. Berbadan tinggi, tegap seperti tiang pancang
bendera yang digunakan setiap hari senen dalam upacara bendera di sekolah.
Penampilannya nyentrik dengan model rambut berdiri ke atas, semakin menambah
ukuran tingginya terlihat dari bayangan di depannya. Berlenggang santai,
mungkin memang sudah sering datang ke sini.
“Di,
sedang apa..?” aku terhentak sejenak mendengar suara yang tak asing lagi
bagiku. Tapi mukanya tertutup oleh bayangannya sendiri. Hampir tak terlihat. Ku
ambil cangkir berisi kopi yang ada di meja samping kananku. Saking dekatnya
meja itu, tubuhku harus beringsut sedikit ke kiri untuk mengambilnya. Ku sruput
kopi hangat yang sedari tadi menemaniku membaca buku “Child Star”nya Shirley Temple Black. Mungkin sudah satu jam lebih
aku membacanya. Namun belum ada sepuluh halaman aku selesai membacanya. Maklum,
buku ini merupakan cetakan pertama tahun 1931. Masih menggunakan logat bahasa
inggris yang masih sangat lampau. Apalagi sebelum indonesia Merdeka.
“Siapa
ya?” kuciutkan mataku sedikit berusaha melihat sosok pemuda itu dengan lebih
fokus. Tapi tak bisa juga aku kenali dengan baik.
Aku
beranjak dari tempat dudukku dan berdiri tepat di dekat tiang serambi rumah.
“Erik ya?” sambil menunjuk orang misterius itu. “Masih ingat juga ternyata.”
Ucapnya singkat.
Erik
adalah salah satu teman karibku semenjak SMA. Kebetulan kami saat ini kuliah di
Universitas yang sama. Namun berbeda Fakultas. Kami tetap masih sering bertemu,
walaupun hanya seminggu sekali. Sahabat dari daerah yang sama memang tak pernah
bisa tergantikan. Rasa kekeluargaan kami entah kenapa tak pernah bisa luntur
walau apapun yang mengusiknya. Bahkan dengan orang-orang yang ketika SMA dulu
tak pernah kenal, sekarang ketika bernaung di bawah almamater Universitas yang
sama kami merasa satu keluarga yang tak pernah bisa terlupakan.
“Ternyata
kamu Er, kirain siapa?. Ko datang kesini ga ngasih kabar dulu.”
“Ah
buat apa ngasih kabar, toh kamu juga ada di rumah.”
“Itupun
kalau ada, kalau gak?” ujarku pelan.
Orang
ini malah tertawa, seperti memang sudah bisa membaca pikiranku. Memang
akhir-akhir ini aku lebih senang bergelut dengan dunia khayalan di dalam
kamarku dari pada harus berjalan-jalan keluar menembus dinginnya cuaca.
“Sibuk
apa sekarang di?” tanpa di suruh Erik langsung berangsut menempatkan posisi di
tempat duduk samping kananku. Jeda satu meja.
“Gak,
sibuk apa-apa. Seperti biasa sedang menekuni hobi. Mumpung masih liburan.” Kataku
sembari menggeletakkan buku setebal 500an halaman yang sendag aku pegang.
“Nulis?”
tebaknya tepat.
“Hehe.
Gitulah.” Sepertinya memang dia bisa membaca pikiranku. Tapi mungkin juga
tidak, karena berkali-kali dia datang kesini dengan pertanyaan yang sama dan
dengan jawaban seperti itu pula.
“Sudah
sampai mana bukunya?”
Aku
merasa De javu. “Masih dalam proses
ko..” pertanyaan dan jawaban ini serasa sering aku dengar dan rasakan. Ah,
mungkin hanya pikiranku saja. Atau karena terlalu sering aku mendapatkan
pertanyaan yang sama.
“Rencana
jangka panjang kamu apa? Biasanya kamu yang punya Life Mapping sangat
detail?”. Aku terdiam sebentar. Apa mungkin aku belum cerita dengan orang
terdekatku yang satu ini.
“Emang
aku belum cerita ya?” sambarku langsung tertohok pada pertanyaan simpel tapi
membuatku bersemangat untuk memulai cerita panjang. Mungkin kali ini tak usah
aku ceritakan sedetail mungkin seandainya dia belum tau. Aku harus bikin dia
penasaran. Biar asik.
“Mau
bikin penerbitan dan percetakan kaya Gramedia.”
“Maksudnya?..”
dia menatapku dalam penuh arti. Mungkin setengah kaget atau tidak percaya kalau
aku punya mimpi yang terlalu tinggi.
“Gak
salah denger aku?” Erik sedikit mengernyitkan dahi dan terus merasa
tertusuk-tusuk dengan rasa penasarannya.
Aku
menoleh ke arah samping kiri dan melihat ke arah tembok yang sedari tadi
menjadi saksi bisu percakapan kita. “Lihat saja itu.” Saya sambil menunjuk ke
arah Time Board yang sedari dulu memang tertempel di sana. Di situ termaktub
sebuah tulisan yang cukup menarik mata untuk melirik.
Di
samping logo hitam berbentuk bulat dan di tengahnya tercoreng huruf Z.
Disampingnya tertulis kata U-Zaman Pustaka Group. Telunjuk tanganku tak luput
sedikitpun dari kata itu.
“Maksudnya apa itu?”
“Yaitu tadi yang aku ceritakan.
10 tahun lagi akan menjadi saingan terbesar para penerbit dan percetakan buku.
Haha…”
“Haha, ngaco kamu…!
Lagi mimpi ya..?”
“Serius dong..!!”
jawabku gandem.
“Yakin kamu?”
“Kalau kita tak berani mewujudkan, tak usah Bermimpi.!!!”
Berawal
dari sebuah mimpi yang benar-benar direncanakan maka akan terwujud sebuah
ciptaan maha dahsyat. Kalo kita berani
bermimpi kita harus berani mewujudkan. Mimpi itu indah, mimpi itu adalah
harapan. Mumpung masih muda gantungkan mimpimu setinggi apapun yang kau bisa. Tak harus langit atau negeri Cina yang
kita tuju. Tapi tempat dimana orang lain tak bisa menggapainya, itulah tujuan
kita. Keep Fighting..!!!
Semarang, 17 Januari 2013
Badiuzzaman
Post Comment
2 komentar
kamu tuh,, keren ya
bisa menyeimbangkan waktu antara organisasi, akademik sama sama mengekspresikan kreatifitas
semangattttttt,, semangattt
teruskaann
Haha.. biasa aja..
setiap orang kan memiliki kekurangan dan kelebihan..
Kamu tuh yang hebat. IP nya subhanalloh tak tertandingi. asisten lagi..
pasti banyak yang.. eheme..
EmoticonEmoticon